Jadi Indonesia Dong, Sob!

Jadi Indonesia Dong, Sob! Rosdiansyah, Peneliti JPIPNetwork.

Oleh: Rosdiansyah (Peneliti )

Apa makna bagi generasi Z? Jawabannya perlu penjelasan lebih dulu siapa generasi Z ini, serta bagaimana kebiasaan mereka.

Baca Juga: Pemuda Shiddiqiyyah Bangun Rumah Syukur Layak Huni untuk Warga Ngawi

Sejumlah sumber menyebut generasi Z lahir pada rentang 1996 sampai 2012. Mereka ini keturunan dari generasi X dan . Saat ini, bahkan sudah mulai ramai dibicarakan generasi alpha. Tapi, kali ini kita fokus pada generasi Z dulu. Sebab, generasi Z kini sudah menjadi warga negara yang ikut ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Bukan Tempat Pemungutan Sampah loh!

Kalau ditanya ke mereka kenapa mau datang dan ikut mencoblos di TPS. Jawabannya bisa macam-macam. Misalnya, karena ikut orang tua ke TPS. Gak enak sama tetangga. Di grup lagi rame ikutan ke TPS.

Atau alasan yang lebih idealis, sebagai warga negara kita kudu mendukung ikut menyukseskan pemilu. Apapun hasil pemilu, tak penting, yang penting ikut menyukseskan pemilu. Nah, itu jawaban idealis. Meski, jarang juga yang idealis.

Baca Juga: Pj Wali Kota Mojokerto Ajak Gen Z Kritis Sebagai Pemilih Pemula di Pilkada 2024

lahir berkembang dalam buaian teknologi informasi dan komunikasi. Mereka sudah sangat maju. Bukan cuma di kota, di pelosok pun juga begitu. Generasi ini akrab dengan aneka aplikasi. Cepat beradaptasi. Gaya bergaulnya beda banget dari generasi X atau milenial. Tak canggung, juga tak kikuk berkomunikasi. Mampu membuat istilah-istilah unik untuk pergaulan.

Pertemanan gen Z ada tahapnya. Kenalan dulu, lalu ngopi bareng, setelah itu jadi bestie. Sohib karib, begitu istilah jadul. Kalau sudah bestie, topik obrolan kadang juga soal pribadi. Bestie bisa dipercaya, bisa pegang rahasia. Tapi, kalau sekali bestie khianat, jangan harap bisa berteman lagi.

Anti grogi, walau sehari-hari tak lepas dari gawai. Gawai bagian dari gaya hidup. Sering peribahasa ''kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak'', ada benarnya saat ini. Coba perhatikan, ada yang keasyikan melototi status sampai TikTok kiriman entah darimana, sembari jalan kaki lagi. Tapi, dia abai sekitar yang dekat dengan dirinya.

Baca Juga: Peningkatan Risiko Kanker Bagi Generasi Milenial dan X

Itulah sekelumit suasana gen Z. Generasi internet yang mampu menggabungkan beberapa kegiatan dalam satu saat yang sama. Misal, nge-tweet sambil selancar di mesin pencari, sekaligus mengunduh tembang-tembang anyar dari situs. Aktivitas tak lagi secara berurutan, tapi dikerjakan dalam satu tempo yang sama.

Merawat Kesadaran

Sumpah Pemuda yang dikumandangkan kaum muda-mudi tahun 1928 tentu berjarak waktu dari sekarang, 2022. Sudah nyaris seabad. Seluruh peserta Kongres 27—28 Oktober 1928 di Batavia adalah generasi perang dunia I. Pimpinan Kongres , lahir tahun 1905 di Tuban. Sekretarisnya, Mohammad Yamin, lahir tahun 1903 di Minangkabau. Bendaharanya, Amir Syarifuddin, lahir tahun 1907 di Medan. Komponis Lagu Raya yang dinyanyikan saat Kongres, Wage Rudolf Supratman, lahir 1903.

Baca Juga: KPU Pasuruan Gelar Sosialisasi Tahapan Pilkada 2024 Bersama Penyandang Disabilitas

Dari tahun kelahiran masing-masing itu bisa dibayangkan, rata-rata usia peserta Kongres Pemuda yang melahirkan tersebut adalah 20-an tahun. Usia produktif yang sangat idealis. Mereka melepas baju kedaerahan, berkumpul, lalu mengumandangkan tiga kredo kebangsaan yang tetap diingat hingga kini dan mendatang. Satu tumpah darah, Tanah Air . Satu bangsa, Bangsa . Satu bahasa, Bahasa .

Ketiganya mengacu pada rasa dari penampakan lahiriah. Berbeda lokasi daerah, tapi satu tanah-air. Berbeda tampilan antropologis serta etnik tapi satu bangsa. Berbeda logat serta tata bahasa daerah, tapi satu bahasa nasional. Ketiganya merupakan proyeksi kebangsaan menjelang pertengahan abad 20. Itulah gairah muda-mudi mewujudkan kesadaran berbangsa. Mempertautkan tiga perbedaan penting ke dalam satu kesatuan.

Tentu saja, saat itu belum ada facebook, tak ada , apalagi aplikasi-aplikasi lainnya. Yang ada hanyalah media cetak. Media ini jadi sarana penyebaran gagasan. Radio apalagi televisi, masih belum ada. NIROM, Radio Hindia-Belanda, baru didirikan tahun 1934. Enam tahun setelah Kongres 1928. Maka, praktis hanya media cetak dan juga pamflet, yang menjadi sarana penyebar gagasan.

Baca Juga: Koalisi Perempuan Indonesia Laporkan KPU ke DKPP atas Dugaan Langgar Kode Etik

Gagasan yang tunggal. Itulah makna. yang tak terpisah-pisah walau ada perbedaan d iantara kita. Dalam konteks ini, tentu saja gagasan tersebut jadi lebih relevan bagi .

Kesadaran ketunggalan perlu disebar melalui berbagai aplikasi. Jangan cuma ada 'Mobile Legend' untuk hiburan, tapi usahakan juga ada ' Legend', juga untuk hiburan, sekaligus melanggengkan cita-cita kebangsaan kita. Dan di situlah generasi Z bisa berperan lebih aktif, produktif sekaligus proaktif dalam merawat kesadaran berbangsa. So, jadi dong, Sob!**

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO