"Ternyata hasilnya hanya 10,1 persen (stunting)," ucapnya.
Ia menganggap, hal ini juga sama dengan beberapa daerah yang dikatakan memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi, versi Kemenkes. Pihak Komisi IX DPR RI juga kerap turun ke daerah- daerah tersebut, untuk melakukan pengecekan secara langsung.
"Sama di semua tempat, di Sumatera, di Nusa Tenggara Barat, di Maluku, sama. Tidak ada yang benar datanya. Makanya kami juga minta pertanggungjawaban Kemenkes. Kenapa kok pakek metode yang jelas- jelas salah? Makanya Jember dikatakan 34 persen, Pak Hendy (Bupati Jember) pasti marah juga itu," .
Oleh karena itu, ia ingin segera berdiskusi bersama Bupati Jember, untuk berbincang soal mengakurasikan data stunting di Kabupaten Jember. Sehingga perhatian khusus untuk percepatan penanganan stunting di Jember lebih tepat sasaran dengan strategi yang tepat, dan segera dieksekusi.
Hal tersebut menjadi penting, sebab telah dipahami bersama, bahwa stunting atau gagal tumbuh karena kurang gizi dan infeksi berulang, adalah hambatan serius pada pembangunan masyarakat.
"Kalo 30 persen stunting, coba bayangkan, 3 dari 10 anak produktivitasnya terhambat, dan 7 orang lainnya berusaha mensubsidi atau menopang kekurangan dari 3 yang menderita stunting itu. Nah produktivitas kita secara keseuruhan akan terganggu, nggak fokus, ini logika sederhananya." tuturnya.
Ia menambahkan, dalam menyongsong Masa Emas Indonesia di 100 tahun kemerdekaannya, jika Indonesia tidak bisa menjadi negara maju, maka akan menjadi negara yang gagal. Oleh sebab itu, yang perlu dipersiapkan ada dua, yaitu memersiapkan generasi yang bebas stunting, agar menjamin kualitas SDM, dan memberikan pendidikan kualitas dunia bagi anak- anak bangsa.
"Pendidikan juga diberikan dengan beberapa macam variasi metode, seperti BLK yang juga saya dampingi." pungkasnya. (yud/bil/mar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News