Manifes Pancasila sebagai Weltanschauung

Manifes Pancasila sebagai Weltanschauung Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Fajar Trilaksana, Andi Fajar Yulianto.

GRESIK, BANGSAONLINE.com - Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 dimuka sidang Dokuritsu Junbi Cosakai/Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berisikan konsep lima dasar.

Berikutnya, Presiden RI Joko Widodo Presiden melahirkan Keppres Nomor 24 tahun 2016, dengan dicanangkannya Hari Kelahiran tanggal 1 Juni 1945.

Baca Juga: BPIP Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila di Pasuruan

Adapun konsep pemikiran Bung Karno dengan lima dasarnya, yakni kebangsaan, internasionalime atau perikemanusian, demokrasi, keadilan sosial & ketuhanan yang maha esa.

Dengan dinamika pembahasan penyempurnaan konsep lima dasar tersebut BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang beranggotakan Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Abikusno, Agus Salim, Wahid Hasyim, Moh Yamin, Abdul Kahar MuZakir, AA Maramis dan Ahmad Soebardjo.

Dari hasil penggodokan dan pembahasan Panitia Sembilan, maka di tanggal 18 Agustus 1945 disahkanlah lima dasar atau disebut sebagai dasar Negara Indonesia.

Baca Juga: Pjs Bupati Kediri Ingatkan ASN Jaga Netralitas di Pilkada 2024

Ini tertuangkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945.yang selengkapnya berbunyi:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusian Yang Adil dan Beradab

Baca Juga: Amanat Plt Bupati Lamongan di Peringatan Hari Kesaktian Pancasila

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hidmat kebijaksanaan dalam permusywaratan dan Perwakilan.

5. Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia

Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Ajak Teladani Nilai Pancasila Sebagai Semangat Wujudkan Indonesia Emas 2045

Nilai lima sila tersebut terdapat 45 butir butir specifik yang harusnya dapat menjadi pedoman berpikir, persikap, berprilaku, berbuat dan bertindak baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara.

Bungkarno menambahkan

sebagai "Weltanschauung" merupakan mahkotanya filsafat dalam pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

Baca Juga: Pj Wali Kota Kediri Pimpin Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila

sebagai mahkota filsafat pandangan hidup Bangsa Indonesia ini, maka konsekwensinya kita sebagai warga yang baik patuh tunduk pada pemerintah yang sah.

Manifes sederhananya kita sebagai anak bangsa harus mampu menampilkan perbuatan perbuatan yang berbasic penghargaan terhadap diri dan orang lain, sehingga kita dapat dilihat adanya sebuah perbedaan dari ketiadaan menjadi ada.

Sebuah ada dari ketiadaan tidak lain adalah "Adab".

Baca Juga: Pesan Khofifah di Hari Kesaktian Pancasila

Adab inilah yang lazim bagi warga negara Indonesia dikenal dengan 'Adab Ketimuran'.

Karena ketika kita bicara "Adab Ketimuran" maka artinya kita harus punya sopan santun, saling menghormati, berbudi luhur, jujur dan amanat, percaya adanya Tuhan tempat pertanggungjawaban akhir atas semua perbuatan kita.

Inilah adab-adab yang harus kita jalankan dan yakini sebagai pegangan dari sebuah filosofi pandangan hidup.

Baca Juga: Situs Persada Soekarno dan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Syukuran Hari Pancasila Menggema di PBB

Kita tahu akhir akhir ini disuguhi oleh berita, tontonan, tampilan justru dari orang orang sebagai pribadi yang lazim dipanggil bapak /Ibu yang terhormat, baik pejabat birokrat, dan tersematkan kata para tokoh mulai, tokoh politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat yang banyak berubah menjadi oknum.

Para tokoh yang seharusnya menjadi panutan bagi kaum/warga masyarakat biasa, telah melakukan perbuatan perbuatan yang di luar 'Adab Ketimuran' sebagai bangsa Indonsia yang berbudi luhur.

Contoh terang benderang, bagaimana prilaku para tokoh politik di Gedung Putih simbul kumpulnya para wakil yang mengatasnamakan rakyat (Gedung DPR RI), dan di berbagai komunitas/lembaga lembaga lain, serta forum forum perkumpulan orang orang yang diangkat secara publik sebagai para tokoh.

Baca Juga: Mediasi YLBH FT dengan Lurah Gulomantung soal Kepengurusan LPMK Deadlock

Adanya prilaku para oknum tokoh yang saling menyalahkan, menghujat, mencari pembenar sendiri tanpa mau dikritik dan dievaluasi, tidak pernah berkata terucap kata maaf sedikitpun ketika ada kekurangan dalam bersikap dan bertindak.

Justru berbalik menyerang mempersalahkan orang lain, merasa pol dan merasa lebih pintar dari yang lain. Saling menghujat di depan publik tanpa 'unggah ungguh/tata krama' menghormat pada yang lebih tua, dan tidak tau menempatkan dirinya sebagai apa dan berbuat serta berkapasitas hamtam kromo, menyelonong sibuk mencari muka seakan untuk yang terbaik, tidak paham akan the right man in the right place.

Inilah fakta yang tidak terbantahkan prilaku yang dianggap dan seharusnya dipanggil 'beliau beliau Yang Terhormat'.

Namun prilaku kurangnya 'unggah ungguh/tata krama' bagi para generasi muda ini lahir karena dipaksa oleh perbuatan dari para oknum tokoh yang seharusnya dapat ditokohkan dan sebagai panutan yang justru melakukan perbuatan 'Kontra Weltanschauung'.

Tidak punya 'Adab Ketimuran' dalam memberikan contoh perbuatan yang seharusnya dapat dipedomani oleh generasi mudanya.

Artinya, banyak Para Tokoh Bangsa ini telah kehilangan mahkota pandangan hidupnya. Hal inilah yang terjadi di era kekinian, semakin jauh dari 'Adab Ketimuran', semakin menjauh pula roh dan nafas butir butir yang terkandung dalam .

Apabila ini tidak segera dipulihkan maka kehancuran moral, hilangnya adab terhadap generasi penerus bangsa ini akan berdampak ambruknya moral masa depan bangsa.

Tugas Negara harus mengembalikan nilai nilai ini benar benar sebagai 'weltanschauung' filosofi fundamen pandangan hidup.

Perlunya optimalisasi kembali pendidikan pemahaman terhadap nilai butir butir di semua lini komunitas, khususnya pada lembaga lembaga pencetak generasi muda, pendidikan karakter sebagai rajutan dasar mahkota pandangan hidup masa depan, yaitu sebuah penyampaian pemahaman sebagai mata ajar filsafat alami mengembalikan 'Tema Etika' yang terintegrasi dengan prilaku atau perbuatan bermasyarakat dan berbangsa.

Ketika ini terjaga maka mampu melahirkan kembali para generasi/tokoh yang beradab dan mengembalikan Mahkota Bangsa dengan indah dan baik, sehingga memperindah pandangan baik secara nasional maupun Internasional. (*)

Penulis adalah Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Fajar Trilaksana,

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO