​Dari Negara Hukum ke Negara Hakim

​Dari Negara Hukum ke Negara Hakim Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Pasuruan, Roslinormansyah.

Padahal, pertama, hasil kontestasi kepresidenan tidaklah bisa disamakan dengan hasil kontestasi untuk DPR, DPRD, DPD atau pemilihan kepala daerah. Meskipun, proses dalam kontestasi itu sama, yakni sama-sama dipilih langsung. 

Kontestasi kepresidenan menghasilkan puncak eksekutif yang mewakili bangsa dan negara di ranah internasional. Sedangkan, kontestasi DPR, DPRD dan DPD menghasilkan wakil yang masih berada dalam lingkup bangsa, bukan mewakili bangsa. Idem ditto dengan hasil kontestasi pemilihan kepala daerah.

Kedua, ada kekhususan yang harus dimiliki aturan yang mengatur puncak eksekutif sebagai representasi bangsa. Sehingga berlaku prinsip hukum ''lex specialis derogat legi generali''. Maka, ketentuan batas usia berada dalam ranah ''lex specialis'' tersebut meski punya kesamaan proses pemilihannya yang merupakan ''lex generali'', yakni pemilihan langsung.

Ketiga, dan ini yang paling parah. Putusan MK di atas telah mengubah pondasi dasar ketatanegaraan yang sesungguhnya telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. 

Di dalam negara hukum, pembuat perundangan untuk penyelenggaraan kekuasaan serta pemerintahan adalah pemerintah dan DPR. Pasal 20 ayat 1 UUD 1945 secara tegas disebut, bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. 

Artinya, pembuatan undang-undang bukan menjadi ranah MK, sedangkan penambahan frasa yang telah dilakukan MK justru membuat regulasi baru. Sehingga MK berpotensi telah mengubah Indonesia dari negara hukum menjadi negara hakim. (*)

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka,

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Penuhi Air Bersih Warga, Pemdes Krandegan Sukseskan Program SPAM dari PUPR':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO