Harus beriman kepada Allah SWT dengan pilihan sendiri.
“Taqlid tidak boleh ada dalam keimanan. Barang siapa yang beriman karena taqlid, ikut-ikutan, maka keimanannya tidak sah. Artinya dia masih kafir. “ La yajuz al-taqlid wa al-muqallid kafir “. Begitu unggahan al-imam Ibn Arabi.
Taqlid, dari fi’il madly “qallada – yuqallidu “ seirama dengan makna “al-qiladah” atau kalung. Makanya dalam filologis Arab mentamsilkan orang bertaqlid itu seperti sapi, ternak yang dikalungi dan dituntun. Hewan itu mesti berjalan sesuai penuntunnya. “al-taqlid ka baqar tuqad”.
Tesis ini perimbangan dari anjuran al-Qur’an yang memerintahkan hendaknya orang beriman itu bercerdas-cerdas, berpikir dan kritis. Sekian ayat yang bernada pemikiran : Ta’qilun, tatafakkarun, tatadzakkarun dan lain-lain. Ada pula terma : ulu al-albab, ulu al-nuha, ulu al-abshar dan lain-lain. Apakah ayat-ayat macam ini tidak kontradiktif?.
Tentu saja tidak. Tidak semua manusia didianugerahi kecerdasan dan kemampuan berpikir tinggi. Justeru yang terbanyak adalah yang awam. Karena agama Islam itu rahmah dan nikmat, maka ada ayat untuk cendikia seperti terma yang barusan ditutur dan ada juga ayat perintah bertanya, bertaqlid seperti ayat kaji di atas.
Inilah keluwesan al-Qur’an. (bersambung).
Tafsir edisi selanjutnya: Andai Nabi Hidup di Surabaya akan makan Rawon? Benarkah nikah dengan 4 wanita pahalanya besar?
Tunggu Tafsir Al-Quran Aktual berikutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News