JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan lengser pada 20 Oktober 2024. Itu pun jika tak ada peristiwa politik krusial yang menjatuhkan dia di tengah jalan.
Tapi aura kekuasaan Jokowi sudah meredup. Apa indikatornya? Indikator pertama bisa kita lihat pada sikap para ketua umum partai politik yang mulai tak patuh pada Jokowi. Ini tampak sekali pada manuver politik yang dilakukan Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Jeffrie Geovanie.
BACA JUGA:
- Presiden Jokowi Pastikan Pilkada 2024 Berjalan Baik Pascapemberhentian Hasyim Asy'ari
- Susul PKB, PSI Beri Rekom Abdul Ghofur Maju Jadi Bacabup Lamongan
- Ketua DPD PAN Gresik Usulkan Roro Esti sebagai Bacawabup untuk Dampingi Alif atau Syahrul
- Pj Wali Kota Mojokerto Tindak Tegas ASN Yang Terlibat Judi Online
Ia mengusulkan Jokowi dijadikan Ketua Koalisi Barisan Nasional yang membawahi ketua-ketua umum parpol pendukung Prabowo-Gibran.
Tapi usulan itu tak digubris oleh para pimpinan parpol. Padahal, PSI adalah partainya Jokowi. Ketua umumnya juga putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. Bahkan kabarnya Jokowi juga sempat “menjamin” dan “sesumbar” PSI akan lolos ke Senayan.
Tapi para pimpinan partai politik pura-pura tak dengar terhadap usulan PSI. Bahkan Partai Golkar yang selama kampanye pilpres disebut-sebut sebagai “anak emas” Jokowi - sehingga diberi wewenang untuk memimpin pembagian bantuan sosial (bansos) - tak merespons positif. Padahal suara Golkar naik signifikan juga diduga karena “dibantu” Jokowi. Terutama soal bansos.
Sikap Golkar ini menarik. Karena sebelum Pilpres berlangsung, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sami’na wa'atha’na pada Jokowi. Airlangga Hartarto yang semula sempat bertemu elit PDIP untuk mendukung Ganjar Prabowo sebagai calon presiden, langsung balik kanan mendukung Prabowo-Gibran ketika “ditegur” Jokowi.
Saat itu Jokowi memang sakti. Ia punya senjata “kasus hukum” yang sewaktu-waktu bisa menekuk ketua parpol yang coba-coba melawan atau tak mengikuti kemauan politiknya. Termasuk Airlangga Hartarto.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian RI itu sempat diperiksa kejaksaan agung selama 12 jam dalam kasus minyak goreng. Ia pun langsung sendiko dawuh terhadap Jokowi. Tanpa berpikir panjang ia langsung mendukung Prabowo-Gibran.
Indikator kedua terkait keinginan Jokowi jadi ketua umum Golkar. Sebagian petinggi Golkar “mempersilakan” Jokowi memilih jabatan tertinggi, baik sebagai Ketua Umum Golkar maupun Ketua Dewan Pembina Golkar.
Namun geng Airlangga Hartarto dan M Jusuf Kalla justru menolak keras, baik secara terang-terangan maupun secara sarkastis yang intinya menghalau Jokowi agar tak intervensi ke dalam Golkar.