Oleh: Maulana Sholehodi*
Masih segar dalam ingatan banyak orang, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) Ketua Tanfidziah PBNU mengatakan, "Enggak ada, enggak ada (PKB representasi NU). NU ini sudah keputusan Muktamar untuk mengambil jarak dari politik praktis, jadi semuanya sama saja," ujar Gus Yahya saat ditanya terkait peran PKB sebagai representasi NU di sela-sela Forum Asean Intercultural and Interreligius Dialogue Conference (IIDC), The Ritz-Carlton, Jakarta, Senin (7/8/2023).
Kala itu, Sikap KH. Yahya staquf (Gus Yahya) ini cukup baik, sejalan dengan Khittah NU 1984, di mana NU menarik diri dari panggung politik praktis. NU menempatkan diri menjadi pengayom semua golongan dan perekat seluruh perbedaan. Bukan saja partai, tapi juga kelompok agama di Indonesia.
Tapi sejak sang adik, Gus Yaqut (Menteri Agama), tersandung prahara pansus haji dan menjelang penyusunan kabinet, Gus Yahya melakukan manuver politik yang yang tidak elegan.
Atas nama PBNU, membuat Pansus PKB dan mengundang Ketua dan Sekjen PKB ke PBNU. Yang lebih aneh, ketika Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar tidak datang pada undangan itu, direspons dengan kalimat "Muhaimin mangkir dari undangan PBNU'.
Pengertian mangkir dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), adalah tidak datangnya seseorang ke suatu tempat yang diharuskan untuk didatangi. Bisa dikatakan sebagai absen.
Padahal, hubungan PKB dan NU adalah hubungan historis dan kuktural, bukan hubungan struktural. Dua institusi ini (PKB dan NU) adalah dua badan hukum yang berbeda, sehingga secara hukum tidak saling terkait secara struktural.
Klik Berita Selanjutnya