Oleh karena itu, hubungannya adalah hubungan kultural, bukan struktural. Maka sebaiknya proses yang dilakukan adalah komunikasi kultural dalam suasana santai ngopi ala NU. Bukan proses formal yang justru tidak ada pijakannya dalam AD/ART NU.
Tokoh-tokoh NU terkenal dengan komunikasi kulturalnya untuk memecah kekakuan dan kebuntuan stuktural. Membincang sesuatu yang serius dengan penuh gelak tawa. Sebab, bagi kiai-kiai NU yang layak diseriusi hanya urusan akhirat.
Saya menjadi teringat saat Gus Dur dan kiai-kiai sepuh menyelesaikan konflik dengan kelompok NU tandingan (kelompok Abu Hasan). Para sesepuh NU menyekesaikannya dengan tabayun dan Islah di Pesantren Genggong.
Betapa seriusnya persoalan itu, sebab di belakang Abu Hasan ada Soeharto dan beberapa kiai kharismatik. Tapi selesai dengan silaturahmi penuh gelak tawa dengan rokok dan kopi tanpa pansus.
Tempo hari, Gus Yahya mati langkah saat menggunakan PBNU untuk membela sang adik dalam merespons keputusan DPR RI tentang Pansus Haji.
Kini, terulang kembali tembakannya pada PKB mengenai ruang kosong, sehingga tidak salah kalau publik berkesimpulan bahwa Gus Yahya sedang bermanuver politik untuk kepentingan dirinya, bukan kepentingan PBNU. Dengan bahasa lain, dia menghindari politik praktis tapi terjebak pada politik tidak praktis.
*Penulis adalah Ketua Presidium NCC (Nahdliyin Crisis Center).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News