Kasus Pembunuhan Salim Kancil, Tiga Anggota Polisi Jadi Tersangka

Kasus Pembunuhan Salim Kancil, Tiga Anggota Polisi Jadi Tersangka Para tersangka diperiksa di Polda Jatim. foto: okezone

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Polda Jawa Timur menetapkan tiga polisi dari Polsek Pasirian sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Tiga anggota polisi yang semuanya bertugas di Polsek Pasirian adalah mantan Kapolsek AKP S, Babinkantimnas Aipda SP, dan Kanit Reskrim Ipda SH. Ketiganya diduga menerima gratifikasi dari Kepala Desa Hariyono. Ketiganya termasuk dalam 37 orang yang ditetapkan tersangka.

Baca Juga: Hendak Perang Sarung, Puluhan Remaja di Lumajang Digelandang Polisi ke Mako Polres

“Saat ini ketiganya sedang menjalani sidang disiplin di Bidpropam Polda Jatim,” ujar Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol Praboo Argo Yuwono kepada wartawan, Rabu (7/10).

Dia menambahkan, bila terbukti menerima gratifikasi, ketiganya terancam dikenakan sanksi berupa penundaan pangkat sampai dengan penurunan pangkat.

Sementara itu, hingga saat ini aktor penganiayaan dan pembunuhan aktivis antitambang pasir Salim Kancil dan Tosan di Desa Selok Awar-Awar adalah Hariyono.

Baca Juga: Puluhan Pemuda di Lumajang Digerebek Polisi saat Pesta Ganja

Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan telah terjadi pembiaran oleh aparat negara dalam tewasnya petani penolak penambangan pasir, Salim alias Kancil yang dibunuh di Desa Selok Awar-Awar.

Usai melakukan olah tempat kejadian perkara dan meminta keterangan dari keluarga Salim alias Kancil, Komnas HAM mengetahui bahwa Salim telah melaporkan adanya intimidasi dari pihak Kepala Desa Selok Awar-awar yang diduga melakukan penambangan liar, kepada Polres Lumajang pada 14 September 2015, tetapi tidak ditanggapi.

Bahkan, ketika terjadi penganiayaan yang berujung tewasnya Salim pada 26 September 2015, Komnas HAM mendapat laporan adanya mobil polisi yang lewat di TKP, “tetapi tidak berhenti”.

Baca Juga: Begal Semakin Merajalela, Pemkab Lumajang Akan Pasang CCTV di Seluruh Desa

“Sudah terjadi pembiaran oleh aparat negara,” ungkap Wakil Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila seperti dilansir BBC Indonesia, Rafki Hidayat, Rabu (7/10). Karena itu, Komnas HAM mendesak penegakan hukum yang tak cuma terhadap warga biasa.

“Pemeriksaan kepada polisi, jangan kepada yang bawahannya saja, karena tidak mungkin mereka bekerja tanpa backup atasannya. Jadi, Kapolres (Lumajang) harus diperiksa juga.” ujarnya. Ia menambahkan, sejumlah pejabat Pemda Lumajang juga harus diperiksa.

Dalam investigasinya, Komnas HAM menyimpulkan bahwa penolakan Salim dan rekan-rekannya terhadap penambangan pasir di Selok Awar-awar bermula dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan penambangan ilegal tersebut.

Baca Juga: Isu Dukun Santet Memakan Korban, Kakek di Randuagung Lumajang Dibunuh Orang Tak Dikenal

Empat petak sawah milik Salim, disebut Siti, rusak akibat rembesan air laut karena semakin tipisnya lapisan pasir di pantai. Karenanya Komnas HAM meminta pemerintah pusat, pemeritah provinsi, dan kabupaten melakukan koordinasi menyangkut izin tambang.

Adanya dugaan pembiaran juga dikuatkan dengan kesaksian warga. Seorang saksi yang menolak disebutkan namanya menuturkan, saat pengeroyokan terhadap Salim Kancil dan Tosan, sebuah mobil polisi sempat melintas tak jauh dari lokasi kejadian.

Namun saksi tak bisa memastikan polisi tersebut mengetahui aksi pengeroyokan yang berujung tewasnya Salim Kancil atau tidak.

Baca Juga: Tim Cobra Segel Gedung Tempat Bisnis MLM Ilegal, Jadi Lokasi Cuci Otak Anggota Kasus Penipuan

Saat dimintai konfirmasi, Kepala Kepolisian Sektor Pasiran Ajun Komisaris Eko Hari Suprapto mengatakan saat itu pihaknya menerima laporan tentang penganiayaan terhadap Tosan di lapangan di depan Sekolah Dasar Selok Awar-awar.

Ia mengaku anggotanya tak mengetahui ada kasus penganiayaan terhadap Salim hingga tewas di Balai Desa.

Pegiat LSM Jaringan Advokasi Tambang, Jatam, Ki Bagus Hadikusuma mengatakan, proses hukum atas kasus kekerasan di Lumajang itu belum menyentuh "ke mana pasir besi itu mengalir".

Baca Juga: Dilaporkan ke Polisi Soal Video Pengusiran, Cak Thoriq: Jangan Dicabut, Biarkan Sampai Tuntas

"Karena untuk desa Selok Awar Awar saja setiap hari ada 300 hingga 400 truk mengangkut pasir besi dibawa keluar Lumajang. Dari setiap truk jatah preman sampai Rp300.000 per truk. Jadi ke mana uang itu mengalir," kata Ki Bagus.

Menurut Ki Bagus, pihaknya menduga ada "kelompok besar" yang "bermain" dalam kasus penambangan pasir besi di Lumajang. "Karena dengan membeli langsung ke pertambangan-pertambangan kecil ini, perusahaan besar ini bisa menghindari pajak atau royalti," kata Ki Bagus.

"Kalau kepolisian berniat menuntaskan masalah ini secara tuntas, masalah ini harus diusut," tandasnya. Pasir dari tambang ilegal itu mengalir ke sejumlah proyek penting di sekitar Jawa Timur.

Baca Juga: Obok-obok Desa Sumberwringin, Tim Cobra Dapati Satu Rumah Miliki 3 Motor Bodong

Salah seorang warga Lumajang berinisial Zu mengatakan salah satu pengguna adalah PT ExxonMobil Cepu Limited. Namun, hal itu dibantah Public and Government Affairs Manager Exxon Rexy Mawardijaya. "Kami sesuai dengan aturan yang berlaku," katanya. (det/bbc/sta/lan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO