Oleh: H. Rahmat Santoso, S.H., M.H.*
SEORANG politikus Inggris bernama Lord Acton mengirim sepucuk surat ditujukan kepada Uskup Anglikan Mandel Creighton di tahun 1887, dengan sepenggal kalimat: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” -- Kekuasaan cenderung untuk korupsi, dan kekuasaan absolut korup sepenuhnya. Kalimat ini merupakan kutipan favorit, tetapi apakah benar-benar dapat dipahami?
Menurut Prof. Bas van der Vossen, kalimat tersebut dapat diartikan menjadi 3 (tiga) hal yang menurut beliau pengertian tersebut juga belum terlalu memuaskan.
Pertama, memiliki kekuasaan dapat membuat seseorang untuk menjadi orang yang lebih buruk tetapi efek tersebut menghilang setelah kekuasaan berakhir. Seperti efek cincin kekuasaan di film “Lord of the Rings”, di mana pemakai cincin memiliki kekuasaan mengendalikan dunia ‘middle-earth’. Siapa pun yang melihat cincin tersebut akan memiliki hasrat memiliki dan ketika dipakai, pemiliknya menjadi terpengaruh dan tidak akan bersedia melepas cincin tersebut. Kedua, mungkin kekuasaan tidak merubah seseorang, tetapi seseorang yang berkuasa memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal yang buruk.
Ketiga, kekuasaan berkemungkinan memperbesar sifat-sifat buruk seseorang.
Belakangan ini, Indonesia mengalami hiruk pikuk terkait rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Di satu sisi, pendukung revisi beranggapan KPK saat ini adalah lembaga superbody tanpa pengawasan. Jika KPK mengakui dirinya sebagai bagian dari Lembaga Negara, maka seharusnya ada mekanisme kontrol pengawasan agar tidak sewenang-wenang dalam bertindak ataupun membuat keputusan.
Di sisi lain, penolak revisi berdalih KPK belum membutuhkan revisi. Justru dengan Undang-Undang yang ada saat ini, KPK dapat bekerja secara leluasa menangani kasus-kasus korupsi, operasi tangkap tangan demi menyelamatkan keuangan negara.
Kita tidak dapat mengingkari, siapa pun yang memegang cincin kekuasaan KPK menjadi pengendali jalannya pemberantasan korupsi di Indonesia. Cincin kekuasaan tersebut akan cenderung mengorupsi pemakai cincin. Cincin tersebut pula saat ini menjadi rebutan banyak pihak, baik di dalam internal KPK sendiri, maupun eksternal KPK.
Salah satu usulan revisi Undang-Undang KPK adalah terkait dimasukkannya KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Klik Berita Selanjutnya