Tafsir Al-Isra' 70: Fatwa Kiai Tak Digubris Umat, Apa Sebab?

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

70. Walaqad karramnaa banii aadama wahamalnaahum fii albarri waalbahri warazaqnaahum mina alththhayyibaati wafadhdhalnaahum ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa tafdhiilaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.

TAFSIR AKTUAL

Terkait ramai-ramai soal label "kafir", dalam beda pendapat itu ada dua istilah: Pertama, khilafiyah dan kedua hafawat atau saqathath. Khilafiyah adalah perbedaan pendapat, di mana masing-masing punya dasar yang kuat, seperti nash, al-qur'an, al-hadis, atau ijtihad yang benar sesuai kaidah. Maka nilai masing-masing pendapat adalah benar dan bisa dijadikan hujah, serta sah diamalkan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Sedangkan saqathtath atau hafawat adalah pendapat ngawur yang menyalahi kaidah pemikiran secara umum. Bisa tanpa rujukan kuat atau akal-akalan belaka. Orang bisa berkata beda tafsir, tapi dasar tafsir yang dipakai apa. Mungkin akal-akalan dan kepentingan nafsu. Fuqaha sepakat, bahwa saqathath tidak bisa dijadikan hujjah.

Contoh khilafiyah seperti menyentuh istri, apakah membatalkan wudlu atau tidak? Malik ibn Anas mengatakan "tidak" dan muridnya, al-Syafi'ie yang mengatakan "ya" sama-sama punya dasar yang kuat, sehingga keduanya bisa dijadikan hujjah. Silakan, sekadar kesentuh kulit istri, lalu tetap shalat. asal wudlu anda sempurna, maka sah-lah shalat anda.

Contoh hafawat seperti jumlah wanita yang sah dinikahi dalam satu sesi atau dimadu. Merujuk al-nisa', Ulama' berpendapat maksimal empat wanita merdeka. Pendapat ini didukung al-Hadis soal keputusan nabi terhadap raja Ghailan yang punya istri sepuluh, lalu masuk islam dan disuruh memilih empat saja. Selebihnya diceraikan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Sedangkan pendapat akal-akalan berjumlah 2,2 plus 3,3 plus 4,4. Total delapan belas. Nah, ini hafawat. Meskipun ini pendapat, tapi pendapat ngawur dan salah, sehingga tidak boleh dijadikan dasar.

Kembali ke Bahsul masa'il soal label "kafir" bagi nonmuslim warga negara republik ini. Penulis yakin bahwa yang dimaksud oleh forum itu adalah konteks sosial atau perspektif humanistik, atau konteks bernegara dan berbangsa, bukan konteks teologis, maka menjadi tidak benar jika disorot dari sisi teologis. Kok hasilnya menjadi ruwet dan runyam? Padahal bahsul masail adalah fatwa kiai secara jama'iy yang mestinya dipatuhi oleh umatnya sendiri. Apa sebabnya?

Lepas dari apapun pembacaan anda, dulu ada pertanyaan senada ditanyakan kepada Hadratusy Syaikh KHM Hasyim Asy'ari. Dalam pertemuan itu seorang bertanya: "Kiai, pangapunten. Kenapa akhir-akhir ini nasihat ulama' kurang dipatuhi oleh umatnya sendiri? Hadratusy Syaikh tidak menjawab, tetapi dengan wajah merunduk beliau membaca ayat: "inn nasyi'ah al-lail hiy asyadd wath'a wa aqwam qila" (al-muzzammil:6).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Karena yang bertanya adalah para kiai, maka tidak perlu dijawab panjang lebar. Cukup dengan satu ayat dibacakan, mereka sudah bisa menyimpulkan sendiri. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa munajah tengah malam. Shalat tahajud itu mampu membuat seseorang punya prinsip kuat (asyadd wath'a) dan fatwanya bermakna dan mengena (aqwam qila).

Dibacakan ayat itu, para kiai merunduk meneteskan air mata tanpa ada satu pun yang berani mengangkat kepala. Mereka malu di hadapan Allah, sekaligus di hadapan Hadratusy Syaikh. Mereka merasa kurang ikhlas dalam mengemban amanat agama. Merasa, sejatinya berkiprah demi kepentingan duniawi, tapi dalih dan publikasinya ukhrawi. Mereka juga tersentuh karena minimnya munajah, berbisik-bisik bersama Tuhan di waktu malam. Hadana Allah.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO