Banyak Politisi Minta Dipanggil Gus, Apa Arti Gus? Ini kata Gus Dur yang Bikin Ngakak

Banyak Politisi Minta Dipanggil Gus, Apa Arti Gus?  Ini kata Gus Dur yang Bikin Ngakak KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Foto: Istimewa

Oleh: M Mas’ud Adnan --- Beberapa tahun terakhir ini banyak sekali politisi atau aktivis politik yang minta dipanggil Gus, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi atau terselubung. Bahkan pimpinan partai yang semula sudah populer dipanggil Cak tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi Gus.

Ini fenomena menarik. Baik secara politik maupun antropologi dan budaya. Betapa tidak. Panggilan Gus yang semula hanya populer di lingkungan pesantren kini membahana di tingkat nasional.

Gus adalah produk budaya original pesantren. Panggilan kehormatan pada putra kiai pesantren. Atau dzurriyah (keturunan dan trah) kiai. Baik anak, cucu, cicit, dan seterusnya.

Tentu juga menguasai ilmu agama. Atau paling tidak, paham tentang ilmu agama. Tapi – sekali lagi - ia berasal dari keluarga kiai atau pesantren. Faktanya, meski seseorang pandai agama, jika bukan bukan dzuriyah atau keturunan kiai, biasanya cukup dipanggil ustadz (guru).

Jadi, sejatinya, panggilan Gus itu natural, alami. Panggilan itu murni datang dari masyarakat. Bukan dibuat-buat atau direkayasa seperti sekarang.

Dalam tradisi pesantren, Gus berada satu tingkat di bawah kiai. Namun suatu saat status Gus bisa naik menjadi seorang kiai. Hanya saja butuh proses panjang. Sekali lagi, tergantung pengakuan masyarakat atau umat.

Nah, jika status Gus berada satu tingkat di bawah kiai, lalu kiai itu siapa? Secara sederhana, kiai adalah sosok alim, penuh riyadhah, banyak tirakat, terjaga secara akhlak, dan mengajar ilmu – terutama ilmu agama - kepada para santrinya di pondok pesantren.

Jadi seorang kiai harus memiliki pesantren. Atau mengasuh pesantren. Dengan demikian, tugas kiai sangat berat. Apalagi harus banyak riyadlah dan menjaga akhlak. Karena itu secara kelakar mengaku lebih suka dipanggil Gus ketimbang Kiai.

“Sebutan kiai terlalu berat buat saya. Kiai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Nggak kuat saya. Enakan jadi Gus saja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong,” kelakar dalam buku berjudul “Karena Kau Manusia, Sayangi Manusia” karya Abdul Wahid.

(M Mas'ud Adnan. Foto: istimewa)

FAKTOR GUS DUR

Diakui atau tidak, panggilan Gus populer secara nasional tak lepas dari kiprah dan prestasi , terutama di pelataran nasional. yang nama aslinya Abdurrahman Addakhil – namun lebih suka menuliskan namanya Abdurrahman Wahid (menisbatkan pada ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim) harum semerbak sejak aktif menulis di media massa dan berkiprah di Lembawa Swadaya Masyarakat (LSM).

mengawali dari Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. menjadi sekretaris di pesantren warisan kakeknya, Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Sepulang kuliah dari Mesir dan Baghdad, memang tinggal di Jombang. Baik di Denanyar maupun di Tebuireng.

Dari Pesantren Tebuireng itulah menulis di berbagai media Jakarta. Maka pemikiran yang berkualitas dan cemerlang mulai dikenal para tokoh Jakarta. Hebatnya lagi, berbeda dengan penulis lain yang cenderung menyudutkan kiai dan pesantren, justru mengangkat sisi positif dan kearifan kiai dan pesantren.

yang sangat menguasai berbagai kebudayaan sangat piawai meracik bumbu-bumbu budaya dan kearifan lokal para kiai. Apalagi tulisan sangat genial, inspiratif dan membuka cakrawala pemikiran.

mengangkat satu persatu kiai zuhud pesantren yang sebelumnya tak dikenal secara nasional lewat tulisannya yang benar-benar bernas. Kiai-kiai itu, antara lain: KH Sobary, KH A Muthit Muzadi, KH Adlan Ali, KH Wahab Sulang (Rembang), KH Ali Makshum, KH Zainal dan kiai-kiai lain. Tulisan-tulisan itu oleh penerbit kemudian dibukukan dengan judul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah.

kian cemerlang ketika hijrah ke Jakarta. yang berbasis pesantren itu kemudian menjadi tokoh nasional. malang melintang menjadi pembicara atau nara sumber, baik dalam seminar nasional maupun internasional.

Pada 1984 terpilih sebagai ketua umum PBNU pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Nama kin harum ketika pernyataan dan pemikirannya kritis pada pemeritahan Presiden Soeharto yang otoriter dan korup. menjadi idola para anak muda – terutama mahasiswa. menjadi pembicara dari kampus ke kampus.

Apalagi sangat menguasai ilmu-ilmu sosial modern, disamping ilmu agama tentunya. bahkan sangat konsen pada demokrasi. Sampai dijuluki sebagai pejuang demoraksi.

Puncaknya, terpilih sebagai Presiden RI. Pada 20 Oktober 1999. Dalam sidang MPR ditetapkan sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia dengan 373 suara. Sedang Megawati 313 suara.

Nah, dari kiprah dan prestasi panjang itulah terminolog Gus terangkat drastis dan menjulang ke angkasa.

Kini banyak sekali orang yang ingin dan bahkan minta dipanggil Gus. Terutama kalangan politisi. Mereka menganggap bahwa panggilan Gus bertuah, sakti, keramat, mendatangkan keuntungan politik dan membanggakan.

Padahal kadang namanya samasekali tak “matching” alias tak cocok dengan panggilan Gus yang identik kultur pesantren.

Lalu apa arti Gus sebenarnya? Suatu ketika diundang Walikota Surabaya Soenarto Soemoprawiro dalam suatu acara di Pemkot Surabaya.

Saat menyampakan sambutan, Walikota Cak Narto – panggilan akrab Soenarto Soemoprawiro - menyampaikan salam hormat pada . “Kepada yang terhormat Cak ,” kata Cak Narto.

Mendengar itu tertawa. Saat menyampaikan pidato menyatakan. “Artinya, Gus itu ya Cak. Masak dobel Cak,” kata yang disambut tawa para hadirin.

M Mas’ud Adnan adalah alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair. Ia banyak menulis buku tentang , NU, pesantren dan kiai. Diantaranya buku berjudul Hanya Kalah dengan Orang Madura dan buku Kiai Miliarder Tapi Dermawan yang kini viral.

Lihat juga video 'Semua Agama Sama? Ini Kata Gus Dur':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO