Nasab Ideologis dan Nasab Biologis, Mana yang Lebih Unggul

Nasab Ideologis dan Nasab Biologis, Mana yang Lebih Unggul Mukhlas Syarkun. Foto: bangsaonline

Oleh: Mukhlas Syarkun

Belakang ini isu nasab menjadi perhatian publik. Bahkan terjadi pro-kontra terutama mengenai catatan ketersambungan yang memang ikhtilaf. Karena itu kita perlu melihat dari sisi lain yaitu antara nasab Ideologis dan biologis

Baca Juga: ​Inilah Syarat Menjadi Habib, Prof Dr Quraish Shihab: Tidak Usah Panggil Saya Habib

Keunggulan Manusia Bukan Nasab Biologis

Merujuk firman Allah surah al-Thin bahwa manusia dicipta dengan bentuk yang terbaik (ahsani taqwim).

, ketika menafsirkan surat at-Tin ayat 4 (ahsani taqwim) sebaik-baik ciptaan, menggambarkan konsep manusia sebagai makhluk istimewa dalam tiga aspek. Yaitu aspek fisik, akal dan budi pekerti (moral) yang baik. Namun manusia kemudian jatuh menjadi as-falasafilin (posisinya yang sangat rendah). Bahkan lebih rendah dari hewan ternak, ketika manusia tidak memanfaatkan hati (nalarnya), penglihatan dan pendengaran tidak digunakan untuk taat kepada Allah, tidak memberi manfaat dan maslahat dan tidak memiliki akhlak mulia.

Pemikiran Ahlussunnah Wal Jamaah menempatkan posisi akal manusia sebagai instrumen yang sangat penting, bahkan dengan kemampuan akal, Allah memerintahkan malaikat sujud kepada Adam.

Tentu setelah akal diasah dengan penguasaan ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah SWT, ‘wa’allama Adama. Dan Allah telah mengajarkan kepada Nabi Adam nama-nama. Artinya Nabi Adam mendapat pengajaran ilmu pengetahuan dan itu menjadi keunggulan Adam.

Atas dasar inilah kemudian Allah memerintahkan malaikat dan iblis untuk sujud kepadanya, Padahal secara kodrati malaikat dicipta dari cahaya dan iblis dari api yang lebih power dibandingkan tanah liat (bahan dasar Adam diciptakan). Sekali lagi ini karena Adam memiliki pengetahuan (wa ‘allama Adama)

Oleh karena itu, ayat pertama yang turun adalah membaca dan membaca sebagai instrumen penting untuk mendapatkan ilmu. Tentu tidak hanya sekedar membaca, tetapi membaca dengan nama Tuhan, yang telah menciptakan manusia bumi langit dan isinya. Artinya, ilmu yang dipelajari oleh manusia hendaklah sejalan dengan ajaran yang diajarkan oleh Allah. Jadi orang yang berilmu harus disertai juga dengan landasan keimanan. Maka manusia akan mendapat derajat yang tinggi sebagaimana firman Allah : “Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.”

Runtuhnya Nasab Biologis

Runtuhnya aspek-aspek disebabkan hilangnya nasab idologis. Ini dapat dimengerti dengan mendalami, beberapa dalil :

Pertama, kisah putra Nabi Nuh alaihissalam yang bernama Kan'an, yang memiliki hubungan nasab secara biologis kepada Nabiyullah Nuh Alaihissalam. Tetapi tidak memiliki hubungan ideologis dengan sang ayah, akibat sikap dan pemikirannya berbeda dari apa yang dimiliki oleh sang ayah (Nabi Nuh AS). Meskipun sang ayah mencoba untuk menyelamatkan, tetapi tetap saja ia ditenggelamkan dalam badai banjir. Ia tenggelam bersama kaum-kaum yang ingkar terhadap ajaran (idiologis) yang dibawa oleh Nabi Nuh.

Kedua, merujuk firman Allah (al-'araf: 179), bahwa manusia berpotensi menjadi makhluk hina, bahkan lebih hina dari hewan, ketika manusia tidak menggunakan hatinya (membersihkan hatinya), tidak memanfaatkan penglihatan dan pendengarannya kearah yang posistif dan bermanfaaat untuk kemaslahatan.

Ketiga, sebagaimana firman (Ali Imran: 112), bahwa manusia dalam posisi yang rendah “dhuribat ‘alaihimudz-dzillatu” (hina , rendah diposisi manapun, tetap hina meskipun nasab dari nabi atau wali), ketika gagal menjalin relasi yang baik dengan Allah (hablum minallah) dan gagal berlaku baik pada manusia (habalum minannas)_.

Keempat, merujuk hadits nabi yang popular, “Allah tidak melihat tampilan lahiriyah (tahta, harta dan nasab), tetapi yang dilihat oleh Allah adalah hatinya”. Yaitu hati yang bersih dan selanjutnya menuntun rohaniannya untuk taat kepada Allah dan memberi manfaat pada manusia.

Nasab Idiologis

Nasab ideologis dapat dirujuk dalam sabda Rasulullah SAW, "Al-'ulamau waratsatul anbiya "(bahwa ulama adalah pewaris para nabi). Penegasan nabi ini dapat dipahami bahwa mereka yang menjadi ulama adalah menjadi waritsnya (nasab idiologisnya), sebab kalimat “waratsa” ini akrab dengan konteks nasab (merujuk ilmu warits), karena yang mendapat harta waris adalah mereka yang memiliki hubungan nasab. Oleh karena itu, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa mereka yang menjadi seorang ulama menempati posisi yang penting di hadapan nabi, bahkan diakui sebagai pewarisnya.

Tentu yang dimaksud adalah ulama yang memenuhi kriteria sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT (surah Fathir) bahwa ulama itu memiliki karakteristik yang menonjol sebagai seorang hamba yang takut kepada Allah (Yakhsya-Allah).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bagi mereka yang tidak memiliki hubungan nasab secara biologis, akan diakui oleh Nabi memiliki hubungan ketika seseorang tersebut melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan dan menguatkan rohaniannya senantiasa takut kepada Allah (yakhsya-Allah).

Dengan demikian dapat disimpulkan, ketika seseorang yang memiliki hubungan sambung kepada nabi (walisongo, kiai dan lainnya), namun tidak melengkapi dirinya dengan (ilmu, akhlak dan taat kepada Allah), maka gugurlah tersebut, sebagaimana Kan’an putra Nabi Nuh AS. Bahkan lebih hina dari hewan (kal'an'am balhum adhall), ketika tidak menggunakan hati, penglihatan dan pendengaran, untuk taat dan berlaku manfaat dan maslahat, bahkan berlaku sebaliknya. Bukankah Demikian ??

Jakarta,

3/7/2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO