“Dengan menyerentakkan antara pemilu nasional dengan pilkada, partai politik dan calon-calon pemimpin di daerah tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi,” sambungnya.
Asumsi berkembang. Masyarakat menganggap calon tunggal berpotensi menang melawan kotak kosong.
“Hanya ada satu kandidat yang bekerja keras menghadirkan pemilih ke TPS. Sementara itu, kotak kosong tidak memiliki tim sukses, sehingga membuat orang menjadi enggan atau malas datang ke TPS,” ujarnya.
Bila kotak kosong menang akan memiliki dampak sosial-poilitik bagi masyarakat setempat.
Pasalnya, kepemimpinan akan diisi pejabat sementara. Ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat.
Kotak kosong, lanjut Hari, tidak bisa dimaknai sebagai bentuk protes politik dari masyarakat.
“Pembuat undang-undang mengasumsikan bahwa semakin serentak pemilu dilakukan, semakin baik. Namun, yang sebenarnya diperlukan adalah pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah,” bebernya.
"Jadwal Pemilu nasional dan pemilu daerah sebaiknya tidak dilakukan bersamaan. Jika pemilu nasional, misalnya, dilakukan di tahun 2024, maka pemilu daerah idealnya dilaksanakan dua tahun setelahnya," cetusnya. (van)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News