Tafsir Al-Nahl 90: Tidak Siap Berdialog, Sebaiknya Jangan Menjadi Penceramah

Tafsir Al-Nahl 90: Tidak Siap Berdialog, Sebaiknya Jangan Menjadi Penceramah ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Inna allaaha ya'muru bial’adli waal-ihsaani wa-iitaa-i dzii alqurbaa wayanhaa ‘ani alfahsyaa-i waalmunkari waalbaghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruuna".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dari dialog Jibril dan Nabi tersebut melahirkan berbagai hikmah, antara lain:

Pertama, varian teknik dakwah. Apa yang diragakan Jibril dan Nabi tersebut adalah pelajaran bagi kita dalam menyampaikan dakwah islamiah yang tidak hanya menggunakan satu metode saja, misalnya ceramah saja yang monolog dan monoton. Pesan agama bisa disampaikan dengan banyak cara dan salah satunya dengan cara drama atau peragaan berisikan dialog antar narasumber (Jibril dan Nabi). Jibril berperan mewakili umat yang datang meminta fatwa agama dan Nabi sebagai narasumber yang mampu menjawab setiap persoalan dengan tepat dan mudah dimengerti.

Kedua, pesan agama disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, bila perlu dengan menggunakan cara berbeda. Pertanyaan yang dilontarkan Jibril cukup singkat, yakni: Islam, Iman, Ihsan, hari kiamat. Tapi membutuhkan jawaban panjang dan memang begitu. Tidak hanya sekedar panjang-panjangan kata, melainkan harus padat dan mudah. Dari empat poin pertanyaan tersebut, dua pertanyaan pertama (islam dan iman) dijawab dengan bahasa deskriptif normatif. Yaitu dengan memaparkan rukun-rukun sesuai poinnya. Dijelaskan lima rukun islam dan enam rukun iman.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Tidak sama ketika Nabi menjawab persoalan Ihsan (berbaik-baik di hadapan Allah), di mana hal ini murni masalah hati, nurani, kejiwaan yang bernuansa psikologis. Maka Nabi tidak menggunakan bahasa normatif dan pointing seperti paparan mengenai islam dan iman, melainkan menggunakan bahasa aplikatif percontohan. Difatwakan, agar saat seorang mukmin beribadah kepada-Nya dengan kesiapan jiwa dan benar-benar menyakini, bahwa Allah SWT hadir di depannya, seolah-olah dia melihat Allah di depan matanya. Meski sejatinya tidak milihat dengan kasat mata, tapi meyakini bahwa Allah melihat dirinya. "ka'annaka tarah, wa in lam takun tarah fa innahu yarak".

Dari kalimat yang dipakai Nabi ini mengisyaratkan bahwa memang kebanyakan orang yang sedang ibadah, shalat memang tidak bisa melihat Allah dengan mata telanjang, tapi beberapa orang khusus bisa melihat Allah dengan mata hati. Orang yang beribadah dengan perasaan dilihat Allah pasti menghasilkan ibadah berkualitas. Ibarat seorang pekerja yang saat melakukan pekerjaan diawasi majikan, tentu akan bekerja sebaik mungkin dan selanjutnya pasti menghasilkan pekerjaan yang berkualitas.

Lain lagi dengan pertanyaan keempat, yakni soal hari kiamat, kapan akan datang?. Di sini, Nabi tidak menjawab karena memang di luar kemampuan manusia. Meskipun sederajat Nabi, tetap saja tidak punya kewenangan mengetahui itu. Hari kiamat mutlak otorita Tuhan dan hanya Dia saja yang mengetahui.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Untuk itu Nabi menyindir dengan bahasa "Wa ma al-mas'ul bi a'lam min al-sa'il". Orang yang ditanya tidak lebih mengerti ketimbang orang yang sedang bertanya. Sindiran Nabi ini bagai skak mat bagi Jibril, makanya, si Jibril cepat-cepat undur diri dan menghilang. Bila didalami, kira-kira melahirkan sinyalemen sebagai berikut:

Pertama, sindiran kepada Jibril, bahwa sejatinya Jibril, si penanya masalah kapan hari kiamat sudah tahu bahwa persoalan ini adalah rahasia Tuhan. Artinya kedua narasumber tersebut sejatinya sudah sama-sama mengerti soal itu. Perkara dimunculkan sebagai pertanyaan di depan publik, hal itu untuk memberi pelajaran bahwa soal waktu kiamat harusnya tidak menjadi bahasan, tidak boleh ada yang menerka-nerka, meramalkan kepastian tanggal dan tahunnya dan lain-lain.

Kedua, tidak semua pertanyan harus dijawab. Sebagai manusia, Nabi sangat arif dan membatasi diri, mana wilayah manusia dan mana yang menjadi otorita Tuhan. Sebagai guru, kiai, penceramah semestinya membatasi diri pada keahliannya dan tidak merasa bisa segalanya sehingga menjelasakan segalanya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Ketiga, sesungguhnya Nabi ingin menegur Jibril agar jangan terlalu membani dengan pertanyaan yang di luar kemampuan. Jangan keterlaluan dalam mengetes kemampuan sesorang, apalagi di hadapan publik. Selain menyangkut masalah reputasi, dialog itu sebagai pengajaran dan pembelajaran belaka, bukan ujian skripsi dan bukan munaqasyah.

Ketiga, dari dialog Jibril-Nabi di atas memberi pelajaran bagi para penceramah, bahwa seorang juru dakwah harus siap berdialog, siap menerima pertanyaan dari audien, siap dievaluasi dan siap menerima pendalaman materi yang diceramahkan. Tidak sekedar berpidato monolog, berceramah seenaknya, lalu ditutup dan pergi.

Dengan demikian, seorang penceramah dituntut punya bekal ilmu yang cukup sehingga tuntas dalam menyampaikan pesan agama, karena dia memnag benar-benar ahlinya. Keahlian ilmu (ahl al-dzikr) itulah yang sekarang diabaikan oleh kebanyakan penceramah sekarang, utamanya ustadz entertainment. Nabi telah mencontohkan itu, sehingga islam menjadi elegan dan benar.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Apa yang dilakukan Jibril tersebut adalah sah, sekaligus pancingan, sekaligus teguran kepada para audien agar tidak menjadi pendengar pasif dan menerima begitu saja terhadap apa yang diceramahkan sang ustadz. Jibril telah mengajari kita agar menjadi umat yang cerdas dan kreatif, memanfaatkan kesempatan demi lebih mendapat ilmu yang wawasan bermanfaat.

Tidak ada keterangan soal materi apa yang sedang diceramahkan Nabi waktu Jibril datang tersebut. Apakah materi yang disampaikan Nabi relevan dengan pertanyaan yang diajukan Jibril atau tidak. Yang jelas, semua pertanyaan Jibril adalah masalah agama. Jadi, sebaiknya pertanyaan yang diajukan audien sesuai dengan topik pembicaran, sehingga persoalan menjadi lebih khusus dan mendalam.

Tapi tidak semua materi yang disampaikan penceramah sesuai dengan apa yang diharapkan mustamiin atau audiens. Untuk itu, pada setiap kali ada dialog, ada saja orang yang bertanya di luar topik, tapi tetap dalam koridor agama. Untuk ini, sebaiknya penceramah menjawab jika memang memungkinkan. Oleh karenya, penceramah dituntut berbekal ilmu memadahi sebelum tampil di mimbar. Mimbar bukan ajang pamor, melainkan ajang transformasi ilmu dan sebaran agama. Jadi, bagi penceramah yang tidak siap dievaluasi, tidak siap ditanya soal agama, sebaiknya membekali ilmu dulu secukupnya atau tidak usah ceramah di depan umat.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO