Tafsir Al-Nahl 90: Kerabat Kita, Kerabat Tuhan

Tafsir Al-Nahl 90: Kerabat Kita, Kerabat Tuhan

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Inna allaaha ya'muru bial’adli waal-ihsaani wa-iitaa-i dzii alqurbaa wayanhaa ‘ani alfahsyaa-i waalmunkari waalbaghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruuna".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Nomor tiga dari tiga amal baik yang diperintahkan pada ayat ini adalah menyantuni keluarga dekat, "ita' dzil qurba". Setelah Tuhan membisikkan kita agar berbuat adil dan berlaku ihsan kepada diri kita dan kepada orang lain, kini Tuhan memerintahkan agat umat islam berbaik-baik dengan keluarga dekatnya. Kata "ita'" pada ayat ini berkomnotasi amal sosial, memberi, menyantuni, membantu keuangan atau apa saja yang bersifat bantuan material.

Keluarga dekat yang miskin mempunyai dua hak, pertama: atas nama keluarga dekat dan atas nama miskin. Jadi, zakat atau sedekah mesti diberikan kepada mereka ketimbang kepada orang lain. Termasuk peluang pekerjaan, wajib diberikan kepada keluarga dari pada orang lain. Jika ada orang kaya dan serba berkecukupan, peluang kerja ada di usahanya atau di bidang yang dikuasainya, maka berdosalah jika sampai ada keluarganya yang miskin tanpa pekerjaan. Walhasil, kehidupan keluarga dekat itu adalah tanggungan kita, sesuai urutan nasabnya dan sesuai kemampuan yang ada.

Apalagi jika keluarga dekat yang miskin dan bertetangga, maka punya tiga hak: hak sebagai keluarga, sebagai tetangga dan hak sebagai seorang miskin, maka ini yang lebih depan diperhatikan. Jika ada keluarga dekat agak jauh tempatnya dan ada tetangga dekat yang sama-sama miskin, lalu siapa yang harus diprioritaskan?.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Petunjuk lahiriah ayat ini, yang diutamakan adalah keluarga dekat meskipun jauh tempatnya. Andai hanya ada satu peluang pekerjaan, maka harus diberikan kepada keluarga dekat. Dasar pemikiran ini, - selain karena bunyi ayat kaji ini menunjuk demikian - , bahwa keluarga dekat tersebut punya pertalian kekerabatan, hubungan silatur-rahim, jaringan nasab yang melekat pada darah daging kita.

Kata "rahim" dalam terma "shilatur-Rahim" serumpun dengan sifat Tuhan "al-Rahman, al-Rahim", Mahakasih dan Mahasayang. Terma itu menggambarkan betapa sanak famili dan keluarga dekat adalah rumpun ciptaan yang dicipta Tuhan dengan kasih sayang-Nya. Barang siapa yang menyambung sanak famili sama dengan menyambungkan ciptaan Tuhan yang sedang berserakan di mana-mana. Menyambung sanak famili pasti mendapat kasih sayang dari Tuhan yang maha sayang.

Nabi Muhammad SAW mengambil menantu Ali ibn Abi Thalib yang masih keluarga dekat dengan beliau, yakni sebagai saudara sepupu dijodohkan dengan putrinya, Fatimah al-Zahra'. Abu Thalib, ayah Ali adalah kakak kandung dari Abdullah, ayah Rasulullah SAW. Tali kekeluargaan telah dicontohkan oleh Nabi mulia itu. Jadi, bila ada keluarga yang layak dijodohkan, maka sebaiknya mencontoh amaliah Nabi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Karena ini urusan ciptaan, karena ini urusan kasih sayang, karena ini urusan sosial, maka hukum yang berlaku lintas agama dan kepercayaan. Dalam artian, agama tidak boleh dijadikan penghalang dalam penyantunan terhadap keluarga dekat ini. Meskipun mereka non muslim, tetap punya hak sebagai keluarga dekat yang diprioritaskan. Hukum penyantunan terhadap keluarga dekat ini bersifat melekat, sehingga mereka terus menerus punya hak disantuni.

Hukum sosial ini baru bisa berhenti dan putus jika ada Nash atau keputusan syari'ah lainnya yang tegas melarang. Contohnya hukum waris. Ahli waris yang non muslim, meskipun keluarga dekat tidak bisa mewarisi harta keluarganya yang muslim yang meninggal dunia. Anak kandung yang non muslim tidak bisa mewarisi harta peninggalan ayah kandungnya yang muslim.

Meski demikian, Islam tetap memberikan jalan lain yang halal dan dibenarkan, seperti hibah atau pemberian. Misalnya, sebelum sang ayah meninggal, si anak non muslim tadi sudah diberi duluan. Atau, para ahli waris lainnya, seperti saudara-saudaranya dituntut memberikan sebagian perolehan harta waris kepada si non muslim tersebut. Pemberian ini atas nama kekerabatan, kekeluargaan, bukan atas nama warisan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Pemberian kepada keluarga dekat menjadi perlu dipertimbangkan, bahkan dihentikan jika nyata-nyata mereka menggunakan uang tersebut untuk kemaksiatan atau mendanai kegiatan yang arahnya merugikan agama islam. Inilah yang disebut pertimbangan "maslahah". Nabi Muhammad SAW pernah menghentikan segala hubungan dan semua bentuk subsidi kepada Bani Nadlir (sebagian suku di Madinah) yang ternyata melakukan pengkhianatan dan secara diam-diam menjalin hubungan dengan orang-orang kafir Makkah untuk menghancurkan umat islam Madinah.

Ada keluarga dekat pemabuk berat, penjudi atau pezina. Setiap kali punya uang lebih mesti dipakai maksiat, maka di sini si pemberi dituntut bijak dalam menyalurkan. Misalnya, uang langsung dibayarkan ke sekolah anaknya, bayar SPP atau administrasi lain. Dikirim langsung berupa sembako yang dibutuhkan dan tidak bijak bila pemberian itu berupa uang tunai. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO