Lolos Saat Baku Tembak dengan Aparat, Istri Santoso Akhirnya Ditangkap Tanpa Perlawanan

Lolos Saat Baku Tembak dengan Aparat, Istri Santoso Akhirnya Ditangkap Tanpa Perlawanan Istri Santoso saat di hutan. Foto: detik.com

POSO, BANGSAONLINE.com - Istri kedua Santoso, Jumiatun Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, akhirnya tertangkap hari ini, Sabtu 23 Juli 2016. Santoso adalah pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) asal Bima yang tewas setelah baku tembak dengan aparat. Santoso dianggap sebagai di wilayah timur Indonesia yang bergerilya dari hutan ke hutan.

Atun dicokok di wilayah Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, oleh Satgas Tinombala. Tim ini membawa wanita itu ke Kotis Sektor 1, Poso Pesisir Utara.

Baca Juga: Tiga Napi Tindak Pidana Terorisme di Lapas Kediri Nyatakan Ikrar Setia pada NKRI

“Ditangkap pagi sekitar pukul 08.00 WITA, istri Santoso itu tertangkap,” kata seorang anggota Satuan Tugas Tinombala di Poso saat dihubungi, Sabtu 23 Juli 2016.

Sebelumnya, Atun diduga lolos dari penyergapan Tim Gabungan Polri dan TNI dalam Operasi Tinombala II pada 18 Juli 2016 di wilayah hutan Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, yang menewaskan Santoso alias Abu Wardah dan anak buahnya, Mukhtar. Dalam baku tembak pada sore itu, satu pria dan dua wanita berhasil kabur. Mereka antara lain Basri dan Jumiatun Muslim.

Penangkapan Atun alias Umi Delima tadi bermula dari patroli Satgas Tinombala. Sekitar pukul 08.00 WITA, pasukan mencurigai sebuah gubuk. Penyergapan pun dilakukan. Tanpa kesulitan Satgas Tinombala merangsek dan menemukan Umi Delima di situ. Dia ditangkap tanpa perlawanan.

Baca Juga: Napiter Asal Semarang Bebas di Lapas Tuban

Dengan tertangkapnya Umi Delima, Satgas Tinombala memburu 18 orang lagi anggota kelompok Santoso. Sudah sepuluh anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur di bawah Santoso ditangkap dalam keadaan hidup. Sedangkan 16 lainnya, tewas akibat peluru aparat.

Sementara jenazah Santoso akan dimakamkan di pekuburan muslim di Desa Lanto Jaya, Landangan, Kecamatan Poso Pesisir. Jasadnya dibawa dengan mobil ambulans dari Rumah Sakit Bhayangkara, Palu, pada Sabtu, 23 Juli 2016, pukul 08.00 Wita.

Di rumah sakit, jenazah Santoso diserahkan kepada perwakilan keluarga. Mobil ambulans dikawal Tim Densus 88 yang menggunakan mobil Toyota menuju Kabupaten Poso.

Baca Juga: Densus 88 Libatkan PPATK dan Stakeholder untuk Telusuri Transaksi Terduga Teroris DE

"Diperkirakan siang ini jenazah Santoso tiba di Poso," kata Basir, warga Poso yang hendak berkunjung ke tempat pemakaman Santoso di Lanto Jaya, saat dihubungiTempo, Sabtu.

Adapun jenazah Mukhtar akan dijemput keluarganya pada pukul 09.30 Wita. Jenazah Mukhtar akan dikebumikan Sabtu ini juga di wilayah Tawaili, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu.

Di beberapa lokasi di Poso Pesisir, spanduk penyambutan jenazah pemimpin Mujahidin Indonesia Timur ini sudah terpasang, yang bertulisan: "Selamat Datang Syuhada Poso, Santoso alias Abu Wardah". Tampak foto Santoso sedang menenteng senjata dan foto saat sedang dievakuasi terpasang pada spanduk tersebut.

Baca Juga: Alumnus Tebuireng itu Dekati Mantan Teroris dengan Ushul Fiqh

Sebelumnya diberitakan, warga Dusun Prampelan, Desa Adipiro, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menolak jenazah Santoso dimakamkan di Dusun tersebut. Warga tidak mau ada persepsi buruk terhadap dusun yang terletak di lereng Gunung Sumbing itu.

"Sejauh ini belum ada informasi dia (Santoso) akan dimakamkan di sini. Kalau pun iya (akan dimakamkan di sini) kami tetap menolak, karena akan menimbulkan keresahan, kami tidak mau ada persepsi yang macam-macam terhadap dusun kami," ujar Kepala Desa Adipuro, Waluyo, Kamis (21/7/2016).

Waluyo menyebutkan, Dusun Prampelan memang daerah asal orang tua Santoso, Irsan almarhum. Namun mereka pindah ke Poso, Sulawesi Tengah, sekitar tahun 1960-an. Santoso pun lahir dan besar di Poso.

Baca Juga: Kantor Polisi Jadi Target Bom Bunuh Diri: Berikut Deretan Jejak Penyerangannya di Indonesia

"(Dusun) Kami tidak punya keterkaitan dengan Santoso meskipun orang tuanya asal sini. Namun Santoso lahir dan tinggal di sana (Poso), biar keluarga yang di sana saja yang mengurus," kata dia.

Ahmad Basri, adik sepupu Santoso yang tinggal di Dusun Prampelan juga bersikap sama. Menurut dia, masih banyak keluarga Santoso yang lebih dekat dan berhak atas jenazah Santoso. Keluarga Santoso juga sudah tidak memiliki aset apapun di Dusun Prampelan.

Rumah dan tanah milik orang tua Santoso juga sudah dijual oleh keluarga Basri pada tahun 1998 silam.

Baca Juga: Terima Kasih Pendeta Saifuddin Ibrahim! Anda Bersihkan Islam dari Stigma Teroris dan Radikal

"Tahun 1998, Santoso pulang ke sini, ia jual tanah dan rumah orang tuanya kepada saya. Ini rumah yang saya tinggali ini dulu milik orang tua Santoso," ungkap dia.

Ia mengatakan, Santoso pulang ke Dusun Prampelan tidak lama hanya sekitar dua bulan. Setelah itu, Basri maupun para tetangga tidak lagi menjalin komunikasi dengan Santoso.

Mereka mengetahui kabar Santoso setelah adanya pemberitaan media massa yang menyebutkan bahwa Santoso sedang diburu aparat Polri dan TNI karena diduga menjadi otak aksi me di Poso dan sejumlah daerah di Indonesia timur.

Baca Juga: Cegah Terorisme dan Radikalisme, BNPT Terapkan Konsep Pentahelix

Di samping itu, sejumlah petugas dari Detasemen 88 anti teror Polri dan TNI juga kerap bertandang ke Dusun Prampelan untuk menanyakan perihal Santoso sejak beberapa bulan yang lalu.

Kendati demikian Basri masih ingat wajah Santoso. Ia mengenali tahi lalat di dahi Santoso ketika foto wajah jenazah Santoso tersebar di media sosial maupun media massa.

"Yang khas itu ada tahi lalat di dahinya, dari situ kami yakin memang dia (yang ditembak mati polisi) itu Santoso. Kami ikhlaskan saja," ujar Basri.

Baca Juga: Jadikan Foto Santri Tebuireng Sebagai Background Postingan Pesantren Jaringan Teroris, Tempo Dikecam

Sumber: Tempo.co/kompas/merdeka.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO