Tafsir Al-Nahl 91: Perbedaan antara 'Ahd dan Aiman

Tafsir Al-Nahl 91: Perbedaan antara

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Wa-awfuu bi’ahdi allaahi idzaa ‘aahadtum walaa tanqudhuu al-aymaana ba’da tawkiidihaa waqad ja’altumu allaaha ‘alaykum kafiilan inna allaaha ya’lamu maa taf’aluuna.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Posisi ayat ini setelah ayat tentang tiga perintah yakni: berbuat adil, ihsan dan menyantuni keluarga dekat dan tiga larangan, yakni perbuatan keji, munkar dan jahat (90). Sebagai pesan lanjutan, ayat ini bertutur tentang keharusan menunaikan janji yang telah dibuat dan disepakati bersama.

Sejarah menunjuk, bahwa salah satu tradisi masyarakat arab adalah al-mu'akhah, sumpah setia membangun seduluran, persaudaraan secara mengikat seperti saudara kandung sendiri, saling membantu, saling mewaris dan diwarisi, saling menanggung beban seperti membayar diyat (denda), apalagi soal sentimen antar suku. Secara hukum, brotherness ini sangat kuat dan wajib dipatuhi karena perjanjiannya dilegalkan di depan tetua adat. Bagi pelanggarnya akan mendapat sanksi amat berat. Untuk itu, bila ada satu suku diserang, maka suku yang terikat janji persaudaraan wajib membantu.

Setelah islam datang dan mereka memeluk islam, sebagian di antara mereka ada yang dulu ketika masih kafir telah terikat mu'akhah dengan temannya. Lalu mereka mengadukan masalah ini kepada Rasulullah SAW.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Rasul memberi keputusan: "Ikatan janji itu tetap harus dipenuhi selagi tidak berlawanan dengan islam". Semisal saling membantu materi secara wajar, sedekah kemanusiaan tetap ditunaikan. Tidak boleh membantu kekuatan kafir, seperti menjadi mata-mata atau mengucurkan dana.

Sementara soal saling mewaris harus gugur setelah turunnya ayat warisan. Begitu halnya jika keduanya sudah terpisah karena hijrah. Si muslim sudah berada di Madinah, sementara si saudara sumpah masih tetap tinggal di Makkah, maka rusaklah perjanjian itu secara otomatis dan tidak berlaku.

Persepsi lain terhadap ayat studi ini adalah, bahwa ayat ini turun khusus menyoroti masalah Bai'atur Ridlwan. Para sahabat telah melakukan sumpah setia kepada Nabi Muhammad SAW, sanggup menyerahkan jiwa, raga dan sebagian harta untuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Janji ini disaksikan Tuhan sekaligus diback up (wa qad ja'altum Allah 'alaikum kafila), maka wajib dipenuhi sesuai kemampuan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Soal ideom janji, pada ayat ini terdapat dua istilah: pertama, 'ahd (wa awfu bi 'ahd Allah) dan kedua, aiman tau yamin (wa la tanqudlu al-aiman). Kata 'Ahd (janji) yang nisbah (dikaitkan) dengan kata "Allah" menunjuk sebuah janji, pernyataan mengikat secara serius tapi sifatnya landai dan biasa, tanpa bubuhan kata taikid (penguat) dan tanpa diulang. 'Ahd, memang wajib dipenuhi, tapi bagi pelanggarnya tidak dikenai sanksi maupun denda (kafarat) apa-apa.

Tidak sama dengan yamin atau aiman, pernyataan mengikat tersebut harus diulang-ulang. Seperti : Saya akan umrah, saya akan umrah, saya akan umrah. Jika hanya diucap sekali, maka bukan half (yamin). Bagi Abdullah ibn Umar, pernyataan mengikat itu minimal diulang dua kali. Jika sekali, maka tidak ada kafarat apa-apa. Atau dibubuhi kata sumpah, seperti: wallahi (demi Allah), walau sekali sudah masuk kategori yamin yang berefek kafarat bagi pelanggarnya.

Kecualai bila operasional yamin pada obyek terlarang menurut agama. Rincian hukum terkait yamin ada pada kitab fikih. Ada sumpah yang mesti dipatuhi dan ada sumpah yang harus digagalkan. Semisal sumpah berbuat maksiat atau melanggar syari'ah. Wallahi, saya akan perkosa dia. Wallahi, saya akan bunuh dia, akan saya santet dia dst.". Sumpah ini wajib dibatalkan dan membayar konpensasi denda.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Ketahuilah. bahwa sumpah setia seperti pada aturan jahiliah dulu telah dibatalkan oleh islam. "La hilf fi al-islam". Sebagai gantinya adalah syari'ah islam yang sangat komplek dan menyeluruh, menyentuh semua lini kehidupan. Syari'ah itu sudah dianggap cukup menggantikan bahkan menyempurnakan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO