Tafsir An-Nahl 101-102: Nasikh Mansukh, Pembohongan Firman Tuhan?

Tafsir An-Nahl 101-102: Nasikh Mansukh, Pembohongan Firman Tuhan?

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Wa-idzaa baddalnaa aayatan makaana aayatin waallaahu a’lamu bimaa yunazzilu qaaluu innamaa anta muftarin bal aktsaruhum laa ya’lamuuna (101). Qul nazzalahu ruuhu alqudusi min rabbika bialhaqqi liyutsabbita alladziina aamanuu wahudan wabusyraa lilmuslimiina (102).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

"Wa-idzaa baddalnaa aayatan makaana aayatin waallaahu a’lamu bimaa yunazzilu". Tuhan menurunkan ayat susulan sebagai penyempurna ayat yang turun sebelumnya. Semua itu ada hikmahnya dan Tuhan maha mengerti terhadap apa yang Dia turunkan.

Sudah diberitahu seperti itu, tetap saja orang kafir Makkah berkomentar, "innama ant muftar". Muhammad telah melakukan kebohongan publik dengan menyampaikan ayat pertama yang ternyata - akhirnya - direvisi. Itu berarti Muhammad melakukan kebohongan. Jika tidak bohong, kenapa kata-kata yang dahulu harus direvisi.

Tapi Allah SWT menyatakan, bahwa ayat susulan yang diturunkan itu benar adanya dan diturunkan dengan benar, via Ruh al-Qudus. Tujuannya untuk memberikan kemantapan iman bagi kaum beriman, selain sebagai petunjuk dan kabar gembira bagi mereka. Jadi, sepanjang yang mengganti aturan itu Tuhan sendiri (Baddalna/Kami mengganti), maka sah-sah saja hal itu terjadi. Naskh dan mansukh adalah hak prerogatif Tuhan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Di sini, ulama yang pro naskh, seperti umumnya madzhab syafi'iy berhujjah dengan ayat ini secara kuat sehingga naskh and mansukh dalam al-Qur'an itu benar adanya dan bukan main-main atau kebohongan. Fungsi kabar gembira (busyra) adalah fungsi maslahat, di mana dalam perubahan itu pasti ada maslahah yang lebih besar. Di sinilah Tuhan mahaluwes dan mahabijak, dengan menurunkan hukum sesuai kondisi mukhatab serta mempertimbangkan ruang dan waktu.

Semisal perubahan waktu iddah (masa tunggu) bagi janda yang ditinggal mati suaminya. Aturan pertama turun mematok masa iddah 12 bulan atau satu tahun (al-Baqarah: 240), lalu. Beberapa waktu, kemudian turun ayat susulan yang menyatakan, bahwa masa tunggu cukup empat bulan plus sepuluh hari yang diglobalkan menjadi 130 hari terhitung setelah hari kematian suami (al-Baqarah:234).

Jadinya, aturan lama direvisi dengan aturan baru, sehingga masa tunggu janda ditinggal mati suaminya cukup 130 hari. Selama masa iddah tidak diperbolehkan melakukan pernikahan dengan lelaki lain. Dan jika melakukan, maka nikah dianggap tidak sah. Jika ingin terus melanjutkan pernikahan dengan suami baru yang terlanjur sudah menikahi, maka dinikahkan ulang setelah masa iddah selesai. Itu cara terbaik dalam madzhab syafi'ie.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Tidak sama dengan ilmuwan kontra naskh yang mengatakan, bahwa implikasi dari naskh adalah mendisfungsikan salah satu ayat al-Qur'an. Jika ayatnya tidak tertulis di al-mushaf, maka wajarlah. Tapi jika ayatnya masih eksis dan tertulis dalam al-mushaf, maka terkesan rancu sekali. Kok ada firman Tuhan yang tak berguna??

Mereka, lalu mengedepankan solusi, bahwa kedua ayat yang nampak kontradiktif itu dipadukan saja dan tidak perlu didisfungsikan salah satunya. Pola pemaduan ini lebih universal dan lebih memfungsikan firman Tuhan ketimbang pola naskh yang mendisfungsikan.

Jadinya, ayat iddah dua belas bulan diperuntukkan pada janda tua atau yang sudah tidak punya hasrat menikah lagi. Dengan beriddah satu tahun berarti melakukan ibadah panjang dan itu menambah pahala, karena iddah adalah ibadah. Setiap tindak kepatuhan dan penghambaan diri kepada Tuhan adalah ibadah berpahala. Hakim dan kaum muslimin wajib menghormati pilihan janda tua ini, karena itu mutlak sebagai haknya. Janda yang telah memilih iddah satu tahun, kepadanya berlaku hukum iddah, etika iddah selama itu dan kaum lelaki wajib menghormatinya. Seperti tidak boleh melamar dan lain-lain.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Lain lagi dengan janda muda yang masih seger dan energik dan secara itung-itungan masih pantas menikah lagi. Maka cukup ber-iddah 130 hari saja. Hal ini tentu lebih bijak dan lebih bermasalahah. Bagi janda muda, lebih cepat menikah lebih baik karena janda yang menyendiri sungguh rawan fitnah dan sarat godaan. Lelaki bisa saja lebih tertarik pada janda muda yang centil ketimbang kepada gadis. Hal itu karena lelaki yang hatinya agak "gemerseng" menganggap si janda lebih butuh sehingga peluang interaksi lebih terbuka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO