Sumamburat: Kemalangan Malang?

Sumamburat: Kemalangan Malang? Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

BANJIR menerjang lalu menggenangi jalanan di Malang, kawasan Lowokwaru maupun Jl. Ahmad Yani dengan sengsara kemacetan sampai di Jalan Soekarno Hatta dan Soenandar Priyosoedarmo. Begitulah yang ramai diberitakan banyak media dan saya menjadi larut merasakannya. Semua itu adalah pertanggungan derita akibat derasnya guyuran hujan yang berlangsung pukul 14.30-15.30 WIB pada Senin, 10 Desember 2018, saat serumpun pihak memperingati Hari HAM sedunia, termasuk hak atas lingkungan yang baik dan sehat.

Sungguh hujan yang hanya berdurasi satu jam itu berimplikasi pada macetnya lalu lintas jalan sepanjang berkilo-kilo meter. Ruas jalan dihiasi dengan padatnya kendaraan yang bermula dari alir air yang menyiratkan selaksa diri sebagai sungai. Semua mengalami rasa kesal saat itu dan menjadikan permenungan atas nasib wilayah ini yang sebelumnya dibanjiri dengan berita tentang realitas maraknya kasus-kasus korupsi, baik di Kabupaten atau di Kotanya. Bahkan masalah korupsi ini nyasar dengan terang untuk singgah di Kota Batu.

Publik punyai narasi sebersitan bahwa areal Malang Raya seperti menebarkan sampar korupsi untuk kemudian seluruh kaumnya harus sepakat teriak untuk membersihkannya. Proses hukum dan kelindan administrasi perbaikan diri menata birokrasi yang anti korupsi semakin memintal tanggung jawab lagi dengan banjir yang Senin, 10 Desember 2018 tempo hari menampar semua yang merasa mencintai Malang. Tetapi banjir ini bukan soal salahnya, hujan melainkan produk dari penataan kawasan yang abai dengan pertimbangan ekosistem, bukan sekadar soal green-nya sebuah kampung halaman.

Kita semua telah menyaksikan dan dapat merasakan betapa dahsyatnya banjir di Malang itu. Mobil merayap dan terseret longsornya tanah di tepian sungai di wilayah "Tanah Kendedes". Adakah ini adalah mimpi buruk Malang yang telah ramai diberitakan sebelumnya soal korupsi yang menjalar? Malang seolah mengalami kecelakaan ekologis yang serius dengan banjir sebagai bentuk nyata penebusan atas "dosa-dosa" pembangunan kawasan properti yang menggerus lahan konservasinya.

Dalam kisaran kebijakan lingkungan (environmental policy) sesungguhnya tragedi banjir Malang dan kota-kota manapun yang hari-hari ini mengalaminya merupakan hasil dari kebijakan kekuasaan. Pemerintah daerah telah "berinvestasi" agar banjir datang menghadang pada suatu saatnya. Dan kini di akhir 2018 warga Malang sedang "memanen" perilaku pengembangan kawasan yang mencekik lahan konservasinya untuk digerus sebagai lahan-lahan perumahan yang "acak".

Intinya dalam koridor hukum lingkungan (milieurecht) dan ilmu planologi dapat dikatakan bahwa banjir kali ini adalah legal selegal-legalnya akibat dari tindakan membiarkan daerah resapan air dijadikan arena "menggelar panggung poperti" dan perhotelan yang semakin semarak. Pemegang otoritasnya terkesan mengabaikan kepentingan lingkungan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusannya.

Sebagian pegiat lingkungan Malang saat itu secara cerdas sudah menerka: dengan pembangunan kawasan properti dan perhotelan yang kian merayap, Malang pasti tergenang. Sebuah "cuatan ilmu" yang terukur sebelum Malang "tenggelam". Semua sudah mafhum mengingat sepuluh tahun terakhir sebelum dilakukan pengembangan perumahan besar-besaran saja, Malang sudah banyak mengalami pencemaran. Kini frekuensi banjir yang menjadi kemalangan tersendiri. Bencana ini tidak terelakkan menjadi “ritual musiman” di tahun mendatang apabila “telaga perkotaan tidak dipersiapkan” sesuai pula dengan ilmu iklim.

Berbagai pustaka menunjukkan bahwa mengkonstruksi wilayah sesuai dengan kondisi iklim merupakan opsi utama yang searah dengan pembangunan polis (negara kota) sejak di era Yunani. Pembangunan negara kota ini pada mulanya lahir sebagai wadah ajaran demokrasi - yang kini dikembangkan menjadi tipe idel tata kelola urban yang partisipatoris dengan pendekatan ekologis. Model penataan ini dikualifikasi memasuki rumpun pembangunan kota berkelanjutan (sustainable city). Inilah pembangunan kota yang futuristik dengan mengintegrasikan secara harmonis antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pembangunan yang menegasikan “trisula ekonomi-sosial-ekologi” diyakini akan mendegradasi Malang menuju kemalangannya.

Dengan berbasis pendekatan lingkungan, tidak ada lagi ungkapan bahwa banjir dan longsor itu disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Ingatlah, hujan itu rahmat, bukan laknat. Mengapa berkah air hujun berubah menjadi bencana yang menyengsarakan warga negara? Pasti ada yang salah dalam memanage wilayah. Pemimpin daerah Malang Raya wajib bersinergi membangun daerahnya dalam matra nasional bersendikan ekosistem daerah. Jangan sampai kalau di musim penghujan sibuk membenahi jalan, membuat sumur resapan, membersihkan gorong-gorong, sementara di musim kemarau ramai-ramai tanam pohon, dan rakor dari kantor ke kantor. Ini namanya pembangunan salah mongso, gagap klimatologis.

Khalayak ramai telah memahami bahwa banjir yang melanda banyak wilayah Indonesia saat ini telah melakonkan kembali cerita lama kepiluan sebuah kota dengan ungkapan vulgar nan sinis sebagaimana ditulis Kunstter: tragic sprawl scope of cartoon architecture, junked cities and ravaged country side. Penataan Malang membutuhkan penguatan wawasan lingkungan pengemban wewenang pemerintahan. Mewujudkan wilayah dengan gedung-gedung jangkung yang angkuh tanpa RTH yang memadai sudah sering terbukti mengalami kelumpuhan melawan banjir bandang.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO