Sumamburat: Mendiagnosa “Simtom Korupsi”

Sumamburat: Mendiagnosa “Simtom Korupsi” Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

DI KAWAH Gunung Galunggung Tasikmalaya saya mendengar deru orang yang berkerumun sambil membisikkan atas nestapa yang dirasa. OTT KPK di Jawa Timur menjadi sorakan yang diunggah sang tersangka yang memperluas diri sambil menyebut tokoh agama ataupun politisi yang menduduki tahtanya.

Saya hanya mampu menahan senyum sambil menerawang atas tingkah orang yang selalu mengintai siapa saja yang bersalah meski “dirajam” penuh semangat. Saya menepikan diri saja mengawani beragam kolega yang membaktikan diri untuk alam sambil menanam pohon kopi di Kampung Salapan daerah Urug Kota Tasikmalaya 23 Maret 2019. Wajah-wajah mereka tulus meneduhkan diri sambil merebahkan cintanya untuk hijaunya semesta.

Memang dalam pekan ini saya sedang berjelajah di Pulau Jawa (22-28 Maret 2019) menapak kelok lembah serta ngarai yang mendaki menuju puncak gunung. Pada akhirnya singgah jua di beberapa lembaga, mulai dari Perhutani, Pemerintah Daerah, maupun instansi aparatur penegak hukum yang peduli agar kerugian ekologis menjadi bagian dari kerugian keuangan negara. Hal ini diyakini akan menjadi agenda yang “membuldoser” banyak pihak tentang gelegak korupsi dari korporasi maupun instansi birokrasi. Jangkauan kerja KPK semakin diyakini berarti bagi penyelematan lingkungan yang “menggelayut” pada dirinya.

Untuk itulah bincangan korupsi yang saya sorongkan bukan yang tidak menjadi kapasitas akademik saya, melainkan yang sejajar saja dengan penyelamatan lingkungan semisal adalah korupsi di sektor tambang. Secara yuridis-ekologis KPK telah memendarkan energi kedigdayaannya dalam memproteksi kepentingan lingkungan di sektor pertambangan dengan membongkar dugaan korupsi Rp 5,8 triliun yang melibatkan Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi.

Sang Bupati ditetapkan KPK sebagai tersangka yang merugikan negara berkenaan dengan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk sejumlah perusahaan (PT FMA, PT BI dan PT AIM) saat menjabat periode 2010-2015. Berdasarkan keterangan pers yang dilansir KPK sebagaimana diberitakan media massa pada 3 Februari 2019 menunjukkan bahwa timses bupati menduduki posisi direksi dan mendapatkan jatah saham 5% di PT FMA. Kerugian negara yang diungkap KPK melampaui kasus e-KTP (Rp 2,3 triliun) dan kasus BLBI (Rp 4,58 triliun).

KPK terpotret menerapkan perhitungan dalam kerangka valuasi lingkungan yang selama ini menjadi perhatian para aktivis yang gelisah terhadap praktek pertambangan yang destruktif dan polutif. KPK mendata kerugian negara akibat aktivitas tambang PT FMA dari nilai hasil produksi yang diperoleh secara melawan hukum, kerusakan lingkungan, dan kerugian kehutanan.

KPK pun menduga penerbitan IUP eksplorasi kepada PT BI tanpa mengikuti proses yang benar dengan mengabaikanmekanisme lelang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Cacat prosedur ini diyakini melekat pula untuk penerbitan IUP bagi PT AIM sehingga menimbulkan kerugian lingkungan yang cukup besar.

Apa yang diungkapkan KPK tersebut merefleksikan suatu realitas yang selama ini menjadi sorotan publik, khususnya para pegiat lingkungan. Atas nama terobosan hukum demi layanan administratif yang cepatdi bidang perizinan, jajaran birokrasi acap kali melakukan terabasan hukum. Mereka mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dan berakrobatmelintasi prosedur pembuatan keputusan pemerintahan.

Prinsip-prinsip good environmental governance yang berupa keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keadilan, perlindungan masyarakat adat, dan kepastian hukum “diakali”. Amdal sebagai instrumen hukum untuk melindungi lingkungandipersepsi menjadi “beban yang bertele-tele” dan bukannya dianggap mandat “tanggung jawab kepedulian” terhadap lingkungan. Saya yakin melalui kasus ini KPK dinanti dapat membuka “kotak pandora” dunia pertambangan yang diwarnai KKN.

KKN ini membawa efek panjang sejenis “simtomatis” (menyangkut tertumpuknya gejala penyakit) yang menderitakan rakyat dan lingkungan teramat serius dari fenomena begitu merasuknya “kekuasaan tambang” ke urat nadi otoritas negara. Khalayak sudah mafhum bahwa pertambangan di Indonesia telah menorehkan tragedi kemanusiaan dan lingkungan di banyak tempat.

Ingatlah yang pernah melanda Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara, lahan-lahan bekas tambang di Kaltim, di Papua, bahkan di ujung timur Jawa Timur. Kerusakan dan pencemaran diviralkan para pemodal sebagai sesuatu yang lumrah dalampertambangan atas nama kemajuan. Mestinya aparatur negara merapatkan barisan untuk menjaga daulat ekosistem sekuat tenaga dengan penegakan hukum. Dalam hal ini kita dapat mengikuti cara Jepang yang mengembangkan asas presumption of causation, yakni praduga hubungan kausal, jadi tidak hanya praduga tak bersalah.

Patutlah diduga adanya hubungan kausal antara derita warga daerah kaya tambang dengan kemiskinan serta tercemarnya lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Mengungkap tabir hukum presumption of causation adalah sesuatu yang esensial bagi peningkatan martabat hukum di Republik ini.

Sadarilah bahwa Indonesia adalah negara megakaya bahan tambang dengan kondisi yang diungkap secara satir oleh Carolyn Marr (1993): ”Indonesia is fabulously rich and Indonesia is desperately poor”. Deposit batubaranya mencapai 36.6 milyar ton dan emas 2.650 juta ton.

Korporasi pertambangan bertengger dari Sigli-Aceh sampai Tembagapura, Papua. Investor Asia, Eropa dan Amerika sudah menikmati dengan lahapbahan tambang yang terbentang di nusantara ini. Ironisnya adalah ternyata kekayaan tambang itu tidak otomatis memakmurkanrakyat. Keadaan rakyat sekitar wilayah pertambangan ibarat peribahasa: ”anak ayam mati di lumbung padi”.

Lantas apa makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”?Dari langkah KPK saat ini saya menjadi tahu: kalaulah sekarang ada yang menggerus lingkungan, ada yang menambang tanpa reklamasi, ada yang mengambil kekayaan masyarakat adat, ada yang membuat derita dan sengsara, ada warga negara dirundung kemelaratandi daerah kaya tambang, pasti ada tanda-tanda penyakit kronis KKN yang terdiagnosis, meminjam bahasa kedokteranitulah “simtom” korupsi.

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program, Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO