Sumamburat: Pengumuman Saat Shalat Malam Itu Radikal

Sumamburat: Pengumuman Saat Shalat Malam Itu Radikal Suparto Wijoyo.

Genderang yang ditabuh bertalu menyembunyikan maksud keseragaman tetapi mendeklarasikan sebagai pihak yang paling berkeragaman. Kata ideologi yang dimiliki negara sedang “diculik” untuk kemudiaan dibuat mantra yang menggedor diding-dinding rumah penduduknya. Konstalasi sosialnya saling curiga dan kalau tidak mau celaka maka jangan menjadi radikal. Radikal telah direduksi arti kesejatiannya sejurus makna dengan laku kejahatan. Konsekuensinya adalah rakyat di rimba raya itu takut dilabeli radikal, karena itu identik dengan kejahatan, dan setiap kejahatan adalah nista.

Padahal ada sisi lainnya. Seperti dalam kamus-kamus yang beredar di pasaran negara rimba bahwa radikal itu bisa menyangkut pemikiran yang mendasar dengan wujud perilaku yang sangat prinsipal. Dalam radikal terdapat kerangka berlaku yang mampu dibedakan bahwa ini merah dan itu putih. Bukankah setip warna adalah radikal dengan segala perbedaan yang ada. 

Apabila sebuah warna tidak mampu menunjukkan indentitasnya berarti ia kehilangan jatidirinya, dan tidak ada sebuah keberadaan tanpa ciri khas. Karakter yang membeda itulah radikal dan biarkanlah saya memberi pendefinisian tersendiri agar semua tidak seragam. Inilah bagian keragaman sebelum akhirnya disepakati para penggunanya. Kata dan bahasa adalah kesepkatan kolektif penggunanya untuk saling sinambung, saling mengerti.

Tetapi di negeri seberang yang berkecamuk di rimba raya itu telah membaurkan yang jelas menjadi remang hingga tidak tahu siapa dia sejatinya. Subyek persona yang tidak tersamar itulah yang kini berpembungkus gerakan global yang menjustifikasi LGBT. Ketidakjelasaan identitas itu dukuhi jelas untuk mengusulkan bahwa dalam hidup ini ada makhluk antara “adam dan hawa” sehingga terbuka probabilitas-probabilitas “pernikahan antara adam dan hasyim”. 

Inilah pemantik kodrati yang terus digulir guna membenarkan “satu kejadian” agar biasa digeneralisir. Lantas kampus-kampus pun ditengarai tidak mau disemat radikal maka ikutan saja membenamkan diri dalam “siskamling” LGBT. Hasil coblosan menjadi sangat “samar di keranda demokrasi” jurdil. Adakah? Itulah tanya yang terbungkam dalam lorong perabadan.

Pada sisi ini saya teringat bahwa ini bulan Ramadhan dan sepengalamanku ternyata inilah bulan yang memberikan laku-laku radikal. Siang yang sedianya makan harus mandeg jegrek tidak makan. Inilah rute tauhid tauhid yang menuntun radikalisasi diri setiap orang yang beriman. Dia tidak akan berlaku “normal” karena suaranya menjadi bias antara ajaran dengan sekadar ujaran untuk “menghormati yang tidak berpuasa”. 

Pilihan untuk berpuasa itu sendiri adalah radikal. Di bulan ini juga ada peristiwa radikal berupa suatu malam yang sebobot 83-84 tahun, alias malam seribu bulan. Sebuah malam yang radikal dan itu yang dirindu kaum beriman untuk bermunajat. Apakah ini salah? Janganlah mudah “mengepalkan tangan dan menggerakkan telunjuk sambil memperolok bahwa yang liyan yang radikal. Pengumuman hasil akhir “permainan” itu sendiri tampak radikal. Tengah malam atau jelang semburat fajar.

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah Lamongan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO