Gamblang, Surat Justice Collaborator Musa Zainuddin Sebut Sekjen, Bendum dan Ketum PKB

Gamblang, Surat Justice Collaborator Musa Zainuddin Sebut Sekjen, Bendum dan Ketum PKB Musa Zainuddin menangis setelah mendengar putusan majelis hakim di Gedung Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, 15 November 2017. Musa divonis majelis hakim 9 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan. Tempo/Naufal Dwihimawan Adjiditho

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Musa Zainuddin, mantan anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa () yang divonis 9 tahun dalam kasus suap PUPR proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara pada 2016 mengajukan surat permohonan justice collaborator (JC) kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi () pada akhir Juli 2019.

Dalam surat yang terdiri dari empat lembar itu, Musa Zainuddin membeber secara gamblang aliran dana yang mengalir kepada para petinggi , terutama kepada ketua umum DPP Abdul yang akrab disapa Cak Imin. Banyak yang disebut dan diduga terlibat dalam skandal korupsi itu, antara lain Helmy Faishal Zaini, mantan ketua Fraksi yang kini jadi Sekjen PBNU.

Musa Zainuddin juga menyebut Jazilul Fawaid, mantan sekretaris Fraksi yang kini wakil ketua MPR dan Wakil Ketua Umum . Selain itu Musa Zainuddin menyebut Abdul Karding yang saat itu menjabat Sekjen DPP dan Bahrudin Nasori, Bendahara DPP .

Pengakuan mantan anggota Komisi Infrastruktur DPR dalam suratnya itu tak pernah terungkap selama persidangan. "Ada banyak nama dan peristiwa yang tidak terungkap di persidangan," kata Musa seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 20 Oktober 2019.

Musa dihukum 9 tahun penjara karena terbukti menerima Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dalam surat bertanggal 20 Juli 2019 itu, ia juga mengungkap alasan tak membeberkan peran koleganya dalam kasus ini. Berawal dari surat ini, sejumlah politikus termasuk Ketua Umum Muhaimin Iskandar ikut diperiksa . Inilah isi surat Musa Zainuddin yang menghebohkan itu:

Bersama ini perkenankanlah saya mengajukkan permohonan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi () untuk menjadi Juctice Collaborator (JC) dan Permohonan Keringanan Pembayaran Uang Pengganti, dengan penjelasan sebagai berikut :

1.Bahwa benar saya pernah menjadi tersangka dan terdakwa pada Komisi Pemberatasan
Korupsi dengan berkas perkara Nomor : BP-36/23/2017 dan Nomor Perkara : 90/Pid.Sus- TPK/2017/PN. JKT. PST.

2.Bahwa kronologinya penunjukan saya sebagai Kapoksi sekitar bulan Juli 2015, bermula ketika saya di telepon oleh Ketua Fraksi DPR RI Bapak Helmi Faizal Zaini (Helmy Faishal Zaini), beliau menyampaikan bahwa Ketua Umum Bapak menugaskan saya Musa Zainuddin untuk menjadi Kapoksi (Ketua Kelompok Komisi) Fraksi pada Komisi V DPR RI. Untuk itu beliau meminta saya secepatnya menghadap Ketua Fraksi untuk mengambil Surat Penunjukkan sekaligus Pengarahan dari Ketua Fraksi .

3.Bahwa dalam Pengarahan Ketua Fraksi Helmy Faishal Zaini kepada saya, Bapak Helmy Faishal Zaini menegaskan bahwa Kapoksi merupakan perpanjangan tangan dari Fraksi dan Partai, untuk itu Kapoksi harus patuh dan taat
mengamankan kebijakan termasuk mengamankan jatah anggaran di Komisi V DPR RI.

1.(Seusai diperiksa pada 30 September 2019, Helmy mengaku tak terkait dengan kasus ini. Ia mengaku juga tak mengenal Hong Arta, pengusaha yang menjadi tersangka pemberi suap. "Enggak, enggak, enggak ada itu. Fitnah. Saya kira tidak ada," kata Helmy.)

4.Bahwa beberapa waktu setelah saya menghadap Ketua Fraksi Bapak Helmy Faishal Zaini, saya dipanggil oleh Bapak Jazilul Fawaid, Sekretaris Fraksi yang juga Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI. Bapak Jazilul Fawaid menyampaikan kepada saya, Banggar sedang membahas Dana Tambahan Optimalilasi dan saya diminta untuk “mengamankan” jatah Fraksi di Komisi V DPR RI.

5.Bahwa sejak saya mendapatkan tugas sebagai Kapoksi, saya berkomunikasi dengan pihak Kementerian PUPR, yaitu Bapak Ayi Hasanudin Kepala Biro Perencanaan dan Penganggaran PUPR, sekaligus menyampaikan fotocopy Surat Penunjukkan saya sebagai Kapoksi dan mengkoordinasikan usulan usulan dari Fraksi terkait dengan kegiatan pada Kementerian PUPR;

6.Bahwa setelah mengesahkan RAPBN 2016, saudara Jailani pernah mendatangani saya di
Lampung menyampaikan bahwa Saudara Abdul Khoir berminat mengerjakan kegiatan pekerjaan pembangunan jalan Taniwel-Saleman senilai Rp 56 miliar dan Rekontruksi Piru-Waisala Propinsi Maluku senilai Rp 52 miliar. Ketika itu saya menyampaikan bahwa saya belum bisa menjanjikan karena saya belum tahu persis paket paket itu yang telah disetujui oleh Pihak kementerian PUPR. Saya khawatir tumpang tindih dengan paket-paket lain yang bukan jatah . Takut Terjadi saling klaim dengan partai partai lain untuk itu saya menawarkan pertemuan kembali di Jakarta;(Abdul Khoir, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama divonis 4 tahun karena terbukti memberikan suap)

7.Bahwa setelah saya di Jakarta, saya berkoordinasi kembali dengan pihak Kementerian
PUPR Bapak Ayi Hasanudin bahwa benar Paket Proyek yang diminta Abdul Khoir melalui Jailani memang Paket Proyek Jatah yang sudah masuk RKAKL dan DIPA Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016. Akan tetapi ketika saya minta RKAKL dan DIPA dijelaskan bahwa RKAKL dan DIPA masih proses pemilahan Per Provinsi yang nanti akan disampaikan ke Komisi V DPR RI, dengan informasi dari Kementerian PUPR tersebut, ketika saudara JAILANI menawarkan kembali kepada saya
di kediaman saya Komplek Perumahan Anggota DPR RI Blok A4-53 Kalibata Jakarta Selatan, saya setujui dan Sdr. JAILANI menyanggupi untuk memberikan Pembayaran Rp 7 miliar.

8.Bahwa sesaat setelah Jailani pulang, saya memanggil Mutaqin sekaligus memberikan nomor telepon Jailani, kepada Mutaqin sekaligus saya menyuruh Mutaqin untuk kontakan dengan Sdr. Jailani dengan tujuan menerima uang Rp 7 miliar yang telah dijanjkan.

9.Bahwa setelah Mutaqin menerima uang Rp. 7 Tujuh Miliar dari Jailani, kemudian uang itu di dalam 2 buah Tas Ransel itu, diletakan di kamar tidur saya, keesokan harinya pagi-pagi saya telepon Jazilul
Fawaid untuk menerima uang atas kompensasi yang diberikan oleh Jailani sekitar jam 10.00-11.00 WIB pada saat itu juga Jazilul Fawaid sudah tiba di
kedimanan saya Komplek Rumah Jabatan Anggota DPR RI di Kalibata, pada saat itu saya menyerahkan uang kompensasi yang diberikan oleh Jailani kepada Jazilul sebesar Rp 6 Miliar untuk kemudian akan diserahkan kepada Ketua Umum DPP Bapak .(Jazilul menolak berkomentar soal ini. "No comment, ke saja," kata dia Oktober lalu. Sementara Muhaimin, meminta Tempo bertanya ke Jazilul. "Ke Jazilul saja," kata dia seperti dikutip dari Majalah Tempo.)

10.Bahwa setelah uang sebesar Rp 6 miliar diterima oleh Jazilul, kemudian saya melaporkan pernyerahan uang tersebut kepada Ketua Fraksi Helmy Faishal Zaini dan saya mengatakan pada saat itu tolong sampaikan kepada bahwa uang sebesar Rp 6 miliar sudah saya kirim melalui Jazilul

11.Bahwa perlu saya sampaikan selama saya menjalani proses hukum di saya diperintahkan oleh DPP , yaitu Abdul Kadir Karding (Sekjen DPP saat itu) dan Bahrudin Nasori (Bendahara DPP ) Keduanya adalah Anggota Komisi III DPR RI, untuk tidak mengakui atau untuk berbohong mengenai fakta dan peristiwa sebenarnya, dan mereka menjalankan perintah itu dari Ketua Umum DPP untuk ”mengarahkan” saya menghadapi dan menjalani proses di .
(Karding belum membalas pesan konfirmasi yang dilayangkan soal tudingan ini.)

12.Bahwa sejak saya menerima undangan untuk diperiksa sebagai saksi pada awal bulan Februari 2016 sampai menjalani proses persidangan di PN. Jakarta Pusat. Pada saat saya dipanggil untuk menjadi saksi, saya dikenalkan dengan dua orang pengacara, yaitu saudara Farhan dan Haryo Wibowo. Farhan mendampingi secara informal sedangkan Haryo Wibowo mendampingi saya secara formalitas, termasuk mendampingi saya pada saat diperiksa maupun menjalani sidang sidang di pengadilan. Bahwa kedua orang pengacara tersebut di bawah pengarahan dari DPP yang dilakukan oleh Sekjen waktu itu Abdul Kadir Karding dan Bahrudin Nasori.

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO