​Sunan Gus Dur, Wali Sepuluh, dan Tokoh “Lepra Politik”

​Sunan Gus Dur, Wali Sepuluh, dan Tokoh “Lepra Politik” M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Oleh: M Mas’ud Adnan*

Hari ini, 21 Desember 2019, Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur menggelar Haul ke-10 KH Abdurrahman Wahid (). Presiden RI ke-4 itu wafat 30 Desember 2009 pada usia 69 tahun. Ia dimakamkan di Maqbarah Masyayikh di Pesantren Tebuireng, dekat makam ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim (pahlawan nasional) dan kakeknya, Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan Pesantren Tebuireng yang juga pahlawan nasional.

Sembilan tahun lalu, pada 8 Februari 2010 saya menulis opini di Jawa Pos berjudul “ dan Siklus 100 Tahun”. Tiga bulan kemudian, pada 6 April 2010 saya menulis opini di HARIAN BANGSA berjudul: Sunan Wali ke-10. Inti tulisan saya itu menegaskan bahwa adalah mujaddid (pembaharu) besar yang diyakini sebagai waliyullah. Kesimpulan saya itu berdasarkan fakta, bahwa setelah wafat ternyata kharismanya tidak meredup, sebaliknya semakin harum di hati umat dan rakyat. Buktinya, makam dikunjungi jutaan pe dari berbagai penjuru nusantara dan bahkan dunia. 

beda sekali dengan para tokoh lain. Umumnya, para tokoh lain, begitu wafat, semuanya selesai dan tamat. sebaliknya, justru banyak memberikan berkah. Di sekitar Pesantren Tebuireng, sejak wafat, tumbuh warung, penjual aksesoris, buah-buahan, topi, busana muslim, jasa toilet, penginapan, sampai tukang parkir dan sebagainya. Ekonomi kelas bawah benar-benar menggeliat dapat berkah

Bahkan kotak amal yang dikelola Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT) tiap bulan mencapai Rp 300 juta. Namun Dr Ir KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah, adik ), pengasuh Pesantren Tebuireng dan para dzurriyah sepakat bahwa dana itu tak boleh dicampur dengan keuangan Pesantren Tebuireng. Dana dari para pe itu dikelola secara terpisah dan dimafaatkan secara khusus untuk kegiatan sosial seperti membantu anak yatim, para dhuafa, atau anak-anak sekolah tak mampu bayar SPP di luar Pesantren Tebuireng.

Benarkah waliyullah? Saat di makam , saya selalu mencermati doa-doa yang dilantunkan para pe. Ternyata semua kiai pemimpin rombongan saat tawashul membaca fatihah kepada selalu menyebut dengan suara keras: Ya Waliyallah KH Abdurrahman Wahid atau Ya Waliyallah . Ini berarti semua para pe berkeyakinan bahwa waliyullah!

Membeludaknya para pe makam memang tak hanya mencengangkan orang awam. Tapi juga para ulama besar. Saat menghadiri haul di Tebuireng, KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) membisiki KH A Mustofa Bisri (). Ia mengaku heran, kenapa setelah wafat justru derajatnya semakin tinggi, umat berduyun-duyun mengunjungi makam atau pusaranya.

“Tadi Mbah Moen membisiki saya, beliau heran, kenapa setelah wafat derajatnya semakin tinggi,” kata saat memberikan taushiyah pada haul saat itu.

lalu menjawab pertanyaan Mbah Moen. Menurut , derajat makin tinggi setelah wafat karena semasa hidupnya hati selalu mencintai rakyat dan memikirkan nasib rakyat atau umat. Karena itu, kata , ketika wafat, Allah menggerakkan hati rakyat untuk mencintai sehingga mereka berduyun-duyun meni makam .

Logika sangat masuk akal. Para pe itu umumnya datang berombongan naik bus. Biasanya, sebelum ke makam , mereka ke makam para Wali Songo (Wali Sembilan) seperti Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik dan seterusnya. Baru terakhir menuju ke ke makam di Tebuireng Jombang. Karena itu saya menyebut Sunan sebagai Wali Sedoso atau Wali Sepuluh.

TOKOH TERANIAYA

Mungkin banyak yang belum tahu. Dari penelusuran saya, ternyata penganut fanatik Thomas Carly. Menurut Carly, dunia membutuhkan pahlawan yang memiliki “keberanian dan individualitas tersendiri”. Prinsip Carly itu tampaknya dipegang kuat oleh sejak muda jauh sebelum terpilih sebagai ketua umum PBNU dalam Muktamar NU ke-27 pada 1984.

Maka mudah dipahami jika sangat teguh pendirian dan tampil sebagai pemimpin berkarakter. selalu bloko suto, ikhlas apa adanya, tak pernah punya rasa takut, bahkan tak pernah berpikir tentang pencitraan dirinya seperti elit politik sekarang. tak peduli, apakah langkahnya memperjuangkan prinsip itu mengancam posisi dan popularitasnya. Sebab pahlawan memang tak butuh aksesori sosial, seperti pujian, popularitas dan ornamen-ornamen soisal tak penting lainnya.

Karena itu, mudah dipahami jika tenang-tenang saja meski secara politik berhadapan dengan Presiden pada Orde Baru. Padahal, sebagai penguasa hegemonik, represif, dan otoriter, memiliki jaringan kekuasaan menyeramkan. Apalagi, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, camat hingga kepala desa, semuanya tersentralisasi. Bahkan di ujung paling bawah, di tingkat desa, masih ada barisan militer yaitu Babinsa yang ikut menjaga “stabilitas” kekuasaan .

Saya masih ingat ketika diundang warga NU Lamongan Jawa Timur. Saat itu media massa heboh karena Bupati Lamongan M Farid mencekal . Tokoh HMI itu melarang ceramah di area kekuasaannya di Lamongan. Sejak itu identik dengan “tokoh terlarang” dan “tokoh teraniaya”.

Ironisnya, dan kroninya tidak hanya mencekal , tapi juga melakukan penetrasi politik kepada para kiai NU dan gus yang – maaf – “tipis iman”. Para kroni menggelontor dana politik miliaran rupiah dengan dalih “proyek umat”. Saya masih ingat bagaimana mereka secara ramai-ramai mendirikan yayasan dengan berbagai labeling keumatan.

Meski jumlahnya kecil, tapi para kiai dan gus “tipis iman” ini sangat mengganggu gerakan NU di bawah kepemimpinan . Apalagi mereka selalu memprovokasi bahwa sudah tak direstui pemerintah, terutama Presiden . Saat itu kekuasaan memang sedang berada pada puncak kejayaannya.

Ya, saat itulah mengeluh karena banyak kiai yang akhirnya takut berhubungan dengan ketua umum PBNU tiga periode itu. “Saya jadi lepra politik,” kata . Namun berbeda dengan para kiai “tipis iman” yang terus mendekati karena menganggap penguasa digdaya, justru punya keyakinan sebaliknya. “Pohon sudah mau tumbang kok masih didekati,” kata .

Persekusi politik terhadap Gus Dur pun terus berlangsung. Bahkan pada Muktamar NU di Cipasung, dilarang berjabat tangan dengan Presiden yang hadir membuka Muktamar NU. Saat itu seorang jenderal dikabarkan menginstruksikan kepada protokol kepresidenan agar tak diberi tempat (kursi) di jajaran tamu negara. Padahal adalah ketua umum PBNU yang notabene sahibul hajah Muktamar NU. Ini tentu penistaan luar biasa.

Namun tak kehabisan akal. Saat Presiden mau pulang, para kiai dan pengurus NU berdiri berjejer untuk bersalaman satu per satu. menyelinap dan mengambil posisi terakhir di antara tokoh NU yang akan disalami . Akhirnya tak bisa menghindar sehingga – mau tak mau – berjabat tangan dengan .

beserta kroninya memang berusaha menjegal agar tak terpilih lagi sebagai ketua umum PBNU. menjagokan Abu Hasan sebagai calon ketua umum PBNU. Namun, meski dan kroninya memblokade agar tak terpilih sebagai ketua umum PBNU, tapi rekayasa mereka gagal total. Warga NU tetap memilih sebagai ketua umum PBNU. 

Bahkan sejarah kemudian membuktikan bahwa jadi Presiden RI ke-4. Yang unik, saat masih berkhidmat sebagai ketua umum PBNU, berkali-kali menyatakan bahwa pada saatnya nanti ia akan jadi presiden RI. Tentu saat itu banyak yang tak percaya. Bahkan ada yang mencap ngawur. Faktanya benar-benar jadi presiden. Semoga Allah SWT terus mengasihi yang lebih suka disebut sebagai tokoh kemanusiaan. Wallahua’lam bisshawab.

*Penulis adalah praktisi media, alumnus Pesantren Tebuireng, Stikosa-AWS dan Pascasarjana Unair 

Lihat juga video 'Semua Agama Sama? Ini Kata Gus Dur':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO