Direktur LBH FT Ingatkan Bupati Sambari Tak Gegabah Berlakukan New Normal

Direktur LBH FT Ingatkan Bupati Sambari Tak Gegabah Berlakukan New Normal Direktur LBH Fajar Trilaksana (FT), Andi Fajar Yulianto, S.H., CTL.

GRESIK, BANGSAONLINE.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Fajar Trilaksana (FT), Andi Fajar Yulianto, S.H., CTL., memberikan masukan kepada Bupati Gresik, Sambari Halim Radianto yang telah mengeluarkan Perbup Nomor 22 masa transisi menuju tatanan normal baru pada kondisi pandemi Covid-19 di Gresik.

Menurut Fajar, kebijakan New Normal harus ada payung hukum mulai pusat sampai daerah, karena pelaksanaan tata laku kehidupan warga akan terikat, bukan hanya protokoler kesehatan, akan tetapi juga terikat dengan peraturan perundangan yang ada.

"Jadi, jangan sampai sanksi-sanksi yang dianggap pelanggaran di era New Normal akan bertentangan dengan Undang-Undang atau regulasi yang telah ada sebelumnya," ujar Fajar kepada BANGSAONLINE.com, Minggu (14/6/2020).

Fajar lantas mencontohkan, identifikasi dan syarat administrasi bagi orang di luar daerah memasuki daerah lain diwajibkan memenuhi syarat-syarat yang sebenarnya tidak diatur dalam Undang-Undang Kependudukan.

"Hal ini justru terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan cenderung diskriminatif. Ini sebagaimana Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Nomor 7 tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Orang Bepergian, diberlakukan khusus untuk penumpang transportasi umum, darat, perkeretaapian, laut, dan udara yang diwajibkan menunjukkan uji tes PCR (polymerase chain reaction), atau surat keterangan rapid test yang hanya berlaku 3 hari," ungkap Sekretaris DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Gresik ini.

Padahal, lanjut Fajar, pengguna mobil pribadi tidak diberlakukan hal tersebut. Cukup dengan menjamin dirinya sehat. "Sehingga, kalau ada yang menahan atau main sita menyita dokumen pribadi/KTP atau sejenisnya sampai denda mendenda karena dianggap melanggar perilaku New Normal, kemudian penutupan jalan-jalan atau gang-gang yang semula sudah masuk klasifikasi jalan umum dan hanya berdasarkan perintah para pejabat pemerintahan setempat walaupun itu diputuskan melalui musyawarah warga, maka hal ini bertentangan dengan perundangan-undangan," jelas Fajar.

Fajar juga mengungkapkan bahwa jaminan warga dalam bergerak keluar masuk wilayah Indonesia, ada di Pasal 27 Ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (hak asasi manusia).

Ia juga mengungkapkan, pembatasan pelaksanaan ibadah yang praktiknya justru rentan dan berpotensi melanggar peraturan dan perundangan yang berlaku sebagaimana warga negara dalam melaksanakan ibadahnya sesuai keyakinannya.

"Contohnya pembatasan ibadah soal yang boleh melaksanakan ibadah di sebuah tempat atau rumah ibadah hanya khusus warga setempat, apalagi sampai menutup tempat-tempat atau rumah ibadah. Kebijakan ini jelas merupakan pembatasan yang berlebihan. Hal ini tegas tak sesuai isyarat Undang-Undang Pasal 4 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 29 huruf a UUD 1945. Ini merupakan bentuk pelanggaran," katanya.

"Selain regulasi tersebut, berdasar instrumen Pasal 18 Ayat (3) HAM Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), pembatasan-pembatasan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi 'keselamatan publik, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat'. Praktik pembatasan ini harus jelas tertulis dan tertuang dalam sebuah produk Hukum Nasional," jelasnya.

Untuk itu, lanjut Fajar, masih banyak hal yang perlu diatur dalam perubahan perilaku dan tata laku berkehidupan dan bermasyarakat secara New Normal yang bersinggungan dengan hak dan kewajibannya. "Sehingga tidak terjadi missunderstanding dan missperception di masyarakat. Termasuk, upaya penertiban pun harus mengutamakan unsur kualitatif dengan prinsip nonretroaktif atau antirepresif demi menghindari kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum," tuturnya.

"Jadi, penerapan New Normal harus benar-benar diatur dengan aturan yang terstandarisasi menghormati norma pembentukan sesuai tata urutan perundang- undangan yang sah dan tidak diskriminatif. Tidak cukup hanya diatur dengan Surat Edaran (SE) dan sejenisnya, termasuk daerah kabupaten/kota dalam melahirkan Perbup/Perwali," terangnya.

"Meskipun aturan itu harus memperhatikan kearifan lokal, tapi tetap norma tersebut harus diperhatikan, sehingga tidak bertabrakan dengan peraturan yang telah ada sebelumnya, dan bahkan bertentangan dengan Hukum Nasional atau peraturan perundangan yang lebih tinggi," pungkasnya. (hud/zar)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO