Teliti Moderasi Beragama di Kota Batu, Kepala Kankemenag Raih Gelar Doktor

Teliti Moderasi Beragama di Kota Batu, Kepala Kankemenag Raih Gelar Doktor

Teori yang digunakan Dr. Nawawi untuk membedah proses dan makna gerakan moderasi beragama pada masyarakat inklusif Kota Batu adalah teori Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Ia katakan, bahwa teori konstruksi sosial mengandaikan bahwa ada dialog antara subyek dan obyek. Ia juga menyampaikan berdasarkan jawaban dari peneliti, bahwa masyarakat sebagai kenyataan obyektif dan sekaligus juga kenyataan subyektif.

"Ada tiga momen dialektika subyek-obyek tersebut, yaitu momen eksternalisasi atau proses penyesuaian diri dengan dunia sosial, lalu momen obyektivasi atau interaksi diri dengan dunia sosial, dan momen internalisasi atau momen identifikasi diri di dalam dunia sosial. Di dalam momen ini terdapat institusionalisasi, sosialisasi dan habitualisasi yang terjadi di dalam kehidupan diri di dalam masyarakat," terangnya.

"Faktor penting yang mengikat kerukunan umat beragama adalah relasi antara agama dan budaya yang bercorak simbiosis. Relasi harmonis antar umat beragama tersebut dibingkai oleh relasi antara agama dan budaya, yaitu pemanfaatan tradisi masyarakat lokal yang bersubstansi agama," terangnya.

"Di antara tradisi tersebut adalah tradisi wewehan atau tradisi saling memberi makanan antar umat beragama. Selain itu, juga ada tradisi sambatan yaitu kebiasaan masyarakat untuk saling menolong dalam membuat rumah, atau pelaksanaan upacara keagamaan. Tradisi anjangsana yaitu tradisi untuk saling berkunjung dan bertemu antara satu tokoh agama dengan lainnya. Tak hanya itu, juga terdapat tradisi pangrukti layon, bari'an, sayan, bersih desa dan bakti sosial," tuturnya.

Dalam sesi tanya-jawab pun, Dr. Nawawi mengaku mampu menjawab pertanyaan demi pertanyaan para penguji. Saat itu, ia menyampaikan bahwa masyarakat inklusif Kota Batu memang memiliki ciri khas dalam tradisinya. Sementara, tradisi tersebut tidak hanya dilakukan oleh umat Islam tetapi juga oleh masyarakat beragama lain.

"Tradisi wewehan itu diberikan kepada pemeluk agama lain bukan hanya khusus dalam agama yang sama, demikian pula tradisi anjangsana juga terhadap pemeluk agama lain, bahkan di dalam sebuah rumah tangga bisa saja terdiri dari berbagai pemeluk agama," kata Nawawi.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif, maka tidak ada upaya generalisasi. Adapun kesimpulan hanya berlaku untuk wilayah Batu, tapi bisa saja terdapat transferability pada daerah lain. Misalnya di Jawa Tengah, tetapi dengan setting sosial dan kultural yang nyaris sama. Sementara, menjawab pertanyaan mengenai pernyataan sikap terhadap ungkapan Menag tentang radikalisme di masjid, ia mengatakan bahwa ungkapan Menag berlaku pada hal khusus bukan berlaku secara umum.

"Jadi hanya khusus orang yang good looking tetapi yang mengajarkan radikalisme dan bukan untuk seluruh yang berbahasa Arab baik dan hafal al-Qur'an," imbuhnya.

Ia juga mengatakan bahwa penyangga moderasi beragama pada masyarakat inklusif Kota Batu tersebut didasari oleh tiga hal, yaitu persepsi, pemahaman dan kesadaran individu, budaya dan tradisi serta peran agen.

"Persepsi, pemahaman dan kesadaran individu yang bercorak moderat, kemudian budaya tradisi yang menjadi perekat di dalam pergaulan, serta keberadaan agen yang terus menerus membina kerukunan beragama, seperti kelompok Gusdurian, FKUB, para Tokoh Agama dan kebijakan publik yang mendukung terhadap terbentuknya masyarakat inklusif yang menghargai kerukunan dan harmoni merupakan pondasi bagi terlaksananya gerakan moderasi beragama," pungkasnya. (asa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO