IKA PMII Jatim: Kami Kekurangan Kader Birokrat

IKA PMII Jatim: Kami Kekurangan Kader Birokrat Firman Syah Ali, S.H., M.H., Bendahara Umum IKA PMII Jatim. (foto: ist)

Situasi ini semakin diperparah pada era Orde Baru posisi NU sangat tidak strategis alias tersingkir dari lingkaran elite kekuasaan, beda dengan kelompok selain NU yang masih dipakai oleh Presiden Soeharto. Itulah cikal-bakal kenapa NU akhirnya kekurangan kader di dalam tubuh pemerintahan.

Faktor kedua, sosial-budaya. Orang-orang NU memang punya kecenderungan menyukai gerakan spiritual dan kultural daripada struktural, sehingga tidak heran kalau mayoritas mereka tidak tertarik dengan struktur birokrasi yang sangat ketat dalam aturan, sejak dari ujung rambut hingga ujung sepatu diatur dengan undang-undang, masuk jam 7 pagi pulang jam 4 sore, seharian duduk di belakang meja menunggu perintah dan petunjuk dari atasan, itu kurang menarik bagi orang NU yang berlatar belakang tradisi pondok pesantren.

Ketiga, faktor personal. Tidak semua alumni ketika berhasil menjadi pejabat strategis pemerintahan tertarik untuk mencari dan menata sahabat-sahabatnya yang ada di dalam birokrasi, sebagian tidak peduli dengan itu, bahkan seandainya sahabatnya itu punya kompetensi. Ini kembali pada karakter masing-masing individu, terutama seberapa besar kadar militansinya terhadap . "Tidak sedikit kader ketika berhasil menjadi pejabat strategis pemerintahan malah lebih mesra dengan kader OKP lain termasuk dalam penataan organisasi," katanya.

Keempat, faktor eksternal. Jumlah kader yang sangat minoritas di dalam birokrasi pemerintahan tersebut akhirnya sering kena sapu bersih kelompok mayoritas, karena situasi dan kondisi birokrasi pemerintahan sebetulnya juga bergeng-geng sebagaimana partai politik. "Saya mengistilahkan politik birokrasi sebagai politik sirri," ujar Firman.

Kelima, faktor psikologis. "Bisa jadi kader di lingkungan birokrasi pemerintahan tidak sekecil itu, namun mereka menyembunyikan diri karena ditimpa syndrome inferiority complex, merasa rendah diri dan merasa minoritas, kalau menunjukkan ke--annya takut dilenyapkan dari dunia persilatan," terangnya.

"Berdasarkan kelima faktor tersebut di atas, saya berharap Kongres XX yang tidak selesai-selesai ini jangan hanya sibuk memilih ketua umum, tapi juga sibuk memikirkan permasalahan di atas, mengingat birokrasi pemerintahan adalah mesin negara. Percuma berhasil jadi nahkoda kementerian atau nahkoda daerah kalau mesinnya digerakkan oleh orang lain. Jatuhnya Gus Dur cukup jadi pelajaran berharga," lanjut Pengurus ISNU Kabupaten Bangkalan Tahun 2004-2007 tersebut.

"Muktamar Pemikiran Dosen dan Rakerwil III PW IKA Jatim di UIN Tulungagung tanggal 5-7 April 2021 mendatang juga bisa mengagendakan permasalahan ini, tentu saja tema besarnya adalah distribusi kader," pungkas Pengurus Besar era Nusron Wahid tersebut. (mdr/zar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO