DPRD dan Pesantren Jombang Kompak Tolak FDS Mendikbud

DPRD dan Pesantren Jombang Kompak Tolak FDS Mendikbud Minardi, Wakil Ketua DPRD Jombang. foto: ROMZA/ BANGSAONLINE

JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Penolakan terhadap kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tentang rencana pemberlakuan (FDS) terus mengalir. Kali ini arus penolakan datang dari DPRD dan kalangan Pondok Pesantren (Ponpes) di Kabupaten Jombang.

Rencana penerapan kebijakan FDS atau masuk sekolah lima hari penuh dinilai belum mengakomodir kultur pendidikan yang ada di kota santri. Itu karena, di Kabupaten Jombang merupakan salah satu kota yang memiliki banyak Ponpes. Kultur di Ponpes itu selama ini banyak yang kegiatannya pada sore hari. Sehingga jika FDS diberlakukan, maka waktu untuk kegiatan Ponpes akan hilang.

“Kami mengakui, di Kabupaten Jombang memang ada yang memberlakukan FDS. Tapi, itu hanya untuk yang sudah paham konsep FDS dan siap dengan konsekuensinya. Misal sekolah tersebut menyediakan tempat ibadah, siswa dan orang tuanya tidak keberatan. Dan ini tidak semua sekolah bisa memiliki konsep dan sarana untuk FDS. Termasuk di Kabupaten Jombang. Jadi, tidak bisa kebijakan itu dipaksakan tanpa melihat secara kongkrit kultur pendidikan secara nasional,” kata Minardi, Wakil Ketua DPRD Jombang, Jumat (16/6/2017).

Menurut Minardi, khusus untuk di Kabupaten Jombang, FDS akan mengancam kultur pendidikan Ponpes. Di samping itu juga akan menghanguskan madrasah dan diniyah di Jombang yang masuk pada sore hari. Bahkan secara nasional, ada 37.102 madrasah yang selama ini melakukan pendidikan pada sore hari.

“Jombang yang lebih dikenal banyak pesantren perlu ada pertimbangan kalau dilakukan FDS. Anak-anak yang sekolah MI, MTs, dan MA di lingkup Ponpes kasihan, mereka harus dipikirkan waktunya untuk membagi dengan kegiatan pondok,” lanjut politisi Partai Demokrat ini.

Ia pun meminta Kemendikbud agar mengkaji ulang kebijakan FDS dengan berbagai pertimbangan. Selain mempertimbangkan hasil proses pendidikan, tapi juga harus dipertimbangkan berbagai kultur pendidikan yang ada di seluruh daerah di Indonesia.

“FDS perlu proses pengkajian yang mendalam tentang kultur budaya di suatu daerah masing. Karena kalau kebijakan kementerian ini sudah berbicara nasional,” tegasnya.

Terpisah, ungkapan penolakan dilontarkan oleh KH Zulfikar As’ad, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang. Bahkan menurutnya, pesantren tidak akan mengikuti kebijakan tersebut.

“Pesantren tidak hanya full day, tapi full day and night. Sebaiknya dikaji kembali itu (kebijakan),” kata Gus Ufik, panggilan akrab KH Zulfikar, Jumat (16/6/2017).

Gus Ufik memaparkan, pembelajaran di pesantren memiliki metode sendiri. Tidak hanya melakukan tahapan di kelas saja tapi juga diterapkan dalam perilaku sehari-hari. “Apa gunanya orang pintar tapi tidak bisa bersosialisasi dan juga mengembangkan dan menularkan keilmuannya kepada orang lain,” ujarnya.

Baginya, jika Kemendikbud menerapkan kebijakan, pemerintah harus bisa memilah sekolah mana yang siap serta sekolah mana yang tidak. “Perlu ditelaah lebih dalam. Jika itu (kebijakan) diterapkan maka harus ditata sedemikian rupa. Guru-gurunya juga disiapkan,” ungkapnya.

Gus Ufik pun menegaskan jika pesantren tidak akan mengikuti kebijakan lima hari masuk sekolah karena sudah memiliki pola pembelajaran tersendiri dan berpotensi membuat anak didik kehilangan waktu untuk belajar agama. “Pesantren tidak akan mengikuti itu (kebijakan). Dalam Islam namanya ilmu itu ya pendidikan agama dan juga pendidikan umum. Ini tidak bisa dipisah,” tandasnya.

Seperti diketahui, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy berencana menerapkan Full day school (FDS) lima hari masuk sekolah. Tujuan dari pelaksanaan untuk memperbaiki sistem penilaian kerja guru. Pemerintah ingin menyesuaikan penilaian kerja guru dengan aparatur sipil negara (ASN) lain. (rom)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO