Pandum Assakinah

Pandum Assakinah Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

HARI membungkus pekan, membulatkan bulan, merampungkan rentang tahunan, menghantar ke ujung tarikh 2017. Tahun yang menyajikan banyak kenangan membekas dalam riwayat siapa saja yang bersinggungan dengan negara. Kegembiraan dan kegelisahan berbaur menyatukan cita yang nyata maupun yang tertinggal dalam bentara imaji harapan. Rasa syukur tetap singgah bergelimang dalam dada rakyat yang memiliki daya lenting yang tidak terperikan.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Apapun yang dialami dianggap serba keberuntungan, karena leluhur ini memang diatribusi dengan cara menerima kahanan, “sejelek apapun”, senantiasa menyisakan gumam “untung masih begini, belum begitu”. Bangsa yang diuntungkan oleh kejembaran ruang “nrimo ing pandum”.

Pandum sebagai bagian dari nafas peradaban memiliki standar “kinerja tersendiri” dan diyakini laksana “takdir pengukir” kesemestian. Pandum dapat bermetamorfosi, mlungsungi memperbarui substansinya, bahkan terkadang sangat transenden, meta material alias ghoib.

Pada tingkatan inilah “pandum adalah bagian yang meruhani”, yang menuntun kesadara kolektif sebagai keterpanggilan. Pandum selaksa samudra yang membasuh luka, meretas derita, menyulam luka, memendarkan kewarasan untuk menenangkan jiwa, meneduhkan kegundahan, berdamai dengan keriuhan yang menyita warga kota.

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Di sinilah saya memaknai eksistensi dan fungsi Masjid Assakinah di bentang situs cagar budaya Balai Pemuda. Assakinah membeber tikar istirah menyujudkan kehendak bahwa gemerlap kota harus dipandu dalam pancaran cahaya kesejatian, agar selalu eling lan waspodo, dan mengerti sangkan paraning dumadi.

Assakinah dalam narasi referensial Al-quran, Surat Ar-Rum, surat ke-30, ayat ke-21 yang kerap dijadikan pijakan tauhid dan diterakan dalam undangan pernikahan, amatlah mengkristal bagi kesejarahan generasi. Damai, aman, tenteram, nyaman, merupakan inti dari ruas hidup yang hendak digapai setiap manusia. Kehidupan yang sakinah menandakan adanya “ritme jedah” untuk mengenali kuasa Illahi.

Sakinah itu berada pada garis batas pandum yang tidak boleh dinafikan siapapun. Pandum yang membeberkan kloso agar manungso tetap tahu roso dan biso rumongso, bukan yang rumongso biso, lan sok kuoso.

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Dalam lingkup inilah saya mendapatkan pangerten dan ilmu linuwih tentang jernihnya perjuangan Komunitas Bambu Runcing Surabaya (KBRS) dalam keserentakan gerak MUI, PCNU, PD Muhammadiyah serta stakeholders Kota Surabaya. Seniman bergerak dengan gelombang yang membuncah. Beragam elemen yang memiliki tanda pengenal keindahan dan kelambu ketentraman berbaur membentuk formasi kesenimanan guna melakukan parade “khotbah penyampai pesan” kepada DPRD dan Pemkot Surabaya.

Di sisik-melik Oktober-Desember 2017, KBRS mengoperasikan gerakan “meraih mahkota pandum assakinah” bersama para ulama. Jalan “kesengsaraan” juga diusung dari Manukan dengan “tamparan cinta” pihak aparat yang mendera peserta. Ontran-ontran akan berkembang “menumpahkan heroisme” apabila tidak segera dibuat “telaga pemandian gerah perkotaan”.

Pada situasi itu, saya “berfantasi” melantunkan lagu dolanan kreasi budaya Kanjeng Sunan Kalijaga di akhir abad ke-14 yang telah mendapatkan penggubahan C. Hardja Soebrata (1905-1986), Gundul-gundul Pacul:

Baca Juga: ​Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis

Gundul gundul pacul cul gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan

Wakul glempang segane dadi sak latar
Wakul glempang segane dadi sak latar

Sang gundul adalah warga yang dengan memanggul segala kepolosannya harus berbekal pacul. Cangkul adalah perlambang daya juang untuk menggali, menafkahi. Gembelengan merupakan gerak dinamis yang mempermainkan, dan apa akibat dari menggembelengkan rakyat (gundul) dengan pandum (cangkul) tempat peribadatannya, telah dijawab pada bait berikutnya. Penguasa (DPRD dan Pemkot Surabaya) tentu tidak boleh gembelengan menabrak tata-krama hukum keimanan rakyatnya.

Baca Juga: ​Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam

Nyunggi berarti menjunjung tinggi di atas kepala dengan meletakkan wakul (bakul) sebagai wadah atau forma cita-cita rakyat, bejana amanat rakyat, tempat daulat tertinggi. Bagaimana implikasi tindakan menjunjung amanat rakyat dengan gembelengan?

Wakul kerakyatan itu akan terjatuh dengan konsekuensi segane (nasinya) ambyar memenuhi jalanan, membanjiri halaman rumah (dadi sak latar), merangsek Gedung Dewan dan Balai Kota. Nasi boleh diwerdikan kumpulan ekspresi cita-cita di kota ini. Kepentingan rakyat harus terus diselamatkan dalam “pandum” Balai Pemuda.

Gembelengan harus dicegah seberapapun beratnya, sesulit apapun medannya, segelap apapun ruangnya, selicin apapun tangga pencapainnya. Pemegang kuasa dilarang gembelengan, karena hal itu mengakibatkan guncangan. Meletakkan rakyat di atas kepala adalah pilihan dari jabatan yang mengerti hakikat supremasi demokrasi.

Baca Juga: Dispendik Surabaya Gelar Kegiatan Melukis On The Spot

Kalaulah pemimpin gembelengan, maka tunggu tahapan berikutnya yang akan muncrat: Wakul glempang segane dadi sak latar. Dan dirobohkannya Masjid As-Sakinah merupakan tindakan gembelengan, sebelum semua diperjelas agendanya.

Saat itulah jamaah terpanggil menyimpuhkan “doa dan tahlil” bagi jiwa-jiwa yang mati rasa. Maka diksi kata “jiwa-jiwa mati” terlontar persis setarikan kenangan pada novel yang mampu membius pembacanya The Dead Souls, tulisan sastrawan besar yang lahir di Ukraina (1809) dan meninggal di Moskow (1852), Nikolai Vasilievich Gogol. Sebuah karya yang menukik menghunjam ke lubuk jiwa-jiwa mati pegawai licik yang ambisius guna memperoleh keuntungan dari manipulasi dan korupsi.

Sindiran yang dihantarkan oleh Gogol sangat rapi, humoris tetapi mengundang senyum yang “mengiris hati”. Senyum yang terasa “pahit-getir” dan menenggelamkan solidaritas di antara warga kota. Mengapa warga terkirimi “senyum meremehkan” dengan tidak diajak “rembuk perobohan” atas “tahtah tauhidnya”?

Baca Juga: Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”

Akhirnya di sesi jelang tutup tahun 2017 ini, “air amerta, banyu urip” telah menggerojok “festival batin” KBRS yang dirajut dengan ikhtiar para ulama, hingga menyentuh kalbu insani DPRD dan Pemkot Surabaya. Kini “pernikahan perkotaan” membangun “mahligai ruhani” keluargaMasjid Assakinah sudah terikrarkan. Pandum itu dibangun kembali. Terima kasih dan selamat tahun baru 2018.

*Penulis adalah Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO