BANGSAONLINE.com - Kiai Asep Saifuddin bercerita, ayahnya, Kiai Abdul Chalim, asli Cirebon Jawa Barat. Namun ia kemudian menetap di Surabaya. ”Dari Cirebon ayah saya jalan kaki ke Surabaya,” tuturnya kepada bangsaonline.com.
Kiai Abdul Chalim tinggal di Jalan Kedungsroko Gang V, Kelurahan Pacar Kembang, Kecamatan Tambaksari Surabaya. Rumah ini kemudian jadi Sekolah SMP dan SMA Diponegoro hingga sekarang.
BACA JUGA:
- Pembukaan Multaqa Alumni Al Azhar VIII, Kiai Asep Ungkap Sejarah Amanatul Ummah, Dulu Tempat Jin
- Kagumi Prestasi Amanatul Ummah, Kementerian Pendidikan Malaysia Studi Banding ke Pacet Mojokerto
- Akad Nikah Putri Kiai Asep Dihadiri Syaikh Mesir, Dubes Sudan, Khofifah, Wakil Ketua MPR, dan Kiai
- Raih Gelar Master di UAC, Wakil Ketua MPR RI: Bila Republik Ini Miliki 10 Kiai Asep Makin Cepat Maju
Di kawasan kampung ini banyak tokoh bertempat tinggal. Selain Kiai Abdul Chalim, KH Ahmad Syaichu pernah tinggal di kawasan ini sebelum tinggal di Jakarta. Tokoh NU yang yang dulu sangat popular ini bertempat tinggal di Jalan Kedung Tarukan yang masih satu kawasan dengan kampung Kedung Sroko.
”Kiai Saichu itu santri ayah saya,” tutur Kiai Asep.
Kiai Ahmad Syaichu pernah menjadi kandidat ketua umum PBNU bersaing dengan KH Idham Chalid. Namun Kiai Syaichu kalah. Ia kemudian mendirikan organisasi Ittihadul Muballighin (persatuan para muballigh). Kiai Ahmad Syaichu pernah menjadi Presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia-Afrika. Peninggalan Kiai Ahmad Syaichu sampai kini masih ada yaitu Gedung Yayasan Al-Hamidiyah di Jalan Kedung Tarukan Surabaya.
Saat remaja Kiai Asep mengaku hidup miskin dan memprihantikan. ”Saya tak mewarisi harta ayah sesen pun,” katanya. Saking miskinnya ia pernah menjadi kuli bangunan untuk menyambung kebutuhan hidup.
Namun ia punya semangat belajar sangat kuat. Meski tak punya uang ia kuliah di IAIN (kini UIN) Sunan Ampel Surabaya. Untuk biaya hidup dan kuliah ia mengajar di sekolah. ”Tapi saya kemudian distop tak boleh mengajar karena saya tak punya ijazah,” katanya.
Sejak distop mengajar itulah ia tak punya penghasilan. ”Ya, saya tak punya uang untuk makan. Padahal saya kan kuliah di IAIN. Maksud saya walau gak punya ijasah saya kan dari IAIN (mampu mengajar). Tapi tetap diberhentikan,” katanya. Terpaksa ia berhenti mengajar. ”Ya, itu akhirnya saya kerja kuli bangunan dua bulan. Uangnya untuk mendaftar di IKIP,” katanya.
Tapi di IKIP Kiai Asep tidak langsung diterima karena ijazahnya Madrasah Aliyah. ”Saat itu ditanya, ini ijazah apa,” katanya. Ijazah Kiai Asep ijazah persamaan. Untungnya ada seseorang yang membantu sehingga diluluskan. ”Saya kuliah di jurusan bahasa Inggris,” katanya. Sejak itu ia bisa jadi guru lagi.
Klik Berita Selanjutnya