Dianggap Kebiri Hak Terdakwa, Direktur LBH FT Tolak Persidangan Pidana Online

Dianggap Kebiri Hak Terdakwa, Direktur LBH FT Tolak Persidangan Pidana Online Andi Fajar Yulianto, Direktur LBH Fajar Trilaksana (FT).

GRESIK, BANGSAONLINE.com - Direktur Fajar Trilaksana (FT) mengkritik rencana pelaksanaan persidangan online secara sempurna sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 tahun 2020 tentang administrasi dan persidangan pidana di pengadilan secara elektronik.

Dalam perma itu, teknis sidang online adalah majelis hakim berada di ruang sidang pengadilan negeri, terdakwa berada di rutan, jaksa penuntut berada di kantor kejaksaan, dan penasihat hukum di ruang advokat/ruang posbakum atau dari kantor hukumnya masing-masing.

"Persidangan dengan model online seperti itu sangat berpotensi akan menghasilkan putusan yang tidak fair dan akan semakin menjauhkan dari rasa keadilan. Karena itu kami menolaknya," ucap Fajar kepada BANGSAONLINE.com, Selasa (29/3/2022).

Menurutnya, persidangan online berakibat hukum acara tidak dapat berjalan secara normal dan menghilangkan sebagian hak-hak terdakwa dengan penasihat hukumnya.

Ditegaskan Fajar, ada empat hal yang menghilangkan hak-hak terdakwa dengan penasihat hukum.

Pertama, sulitnya koordinasi/komunikasi dengan terdakwa sehingga berdampak pada saat pemeriksaan saksi hingga proses penyusunan pembelaan yang tidak maksimal.

Kedua, potensinya gangguan sinyal/koneksi internet yang sering berakibat kurang jelasnya suara, sehingga menyebabkan miskomunikasi dan salah dengar.

"Hal itu berdampak terhadap pembuatan resume hanya dengan asumsi dan copy paste dengan berkas berita acara (BAP). Sehingga fakta persidangan kurang memenuhi akuntabilitas," cetusnya.

Ketiga, potensi adanya intervensi pihak-pihak lain yang mampu dengan mudah terakses di rutan, karena saat pemeriksaan persidangan yang mendampingi secara riil justru dari pihak nonfungsional para pengawal tahanan dari kejaksaan, bukan dari penasehat hukum.

"Sehingga sangat potensi muncul oknum-oknum yang akan mempengaruhi sikap dari terdakwa dalam upaya hukum yang tidak sesuai kemauan sebenarnya dan memutuskan karena adanya berbagai tekanan dan intimidasi," ujarnya.

Keempat, dari segi pembuktian administratif kurang dapat dipertanggungjawabkan secara akurat. Karena jika online, maka penasihat hukum tidak dapat melihat langsung dokumen bukti-bukti yang disampaikan di persidangan untuk memastikan keaslian/validasinya.

"Hal ini dapat menyimpang dari hukum acara. Mengingat Pasal 181 KUHAP yang pada pokok intinya majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah mengenali barang bukti terebut. Berikut majelis memperlihatkan barang bukti tersebut di depan persidangan sehingga semua pihak baik terdakwa, jaksa, dan penasihat hukum dapat dengan jelas dan terang validitas alat bukti yang ditunjukkan," beber Sekretaris DPC Peradi Gresik ini.

Untuk itu, tambah Fajar, jika persidangan online dipaksakan, para pencari keadilan akan semakin sulit mencari akses menemukan keadilan.

"Karena itu, sudah seharusnya menolak persidangan pidana online ini," tutupnya. (hud/mar)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO