​Jacob Oetama, Aktivis Katolik, Wartawan Santun, Bukan Penantang Maut

​Jacob Oetama, Aktivis Katolik, Wartawan Santun, Bukan Penantang Maut Jakob Oetama. Foto: kompas

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kepergian Jakob Oetama banyak meninggalkan kenangan. Tokoh pers itu meninggal dunia hari ini, Rabu (9/9/2020). Jakob yang dikenal sebagai pendiri Kompas Gramedia itu meninggal dalam usia 88 tahun. 

Dikutip dari Biografi Pengusaha, Jakob Oetama hidup dan dibesarkan dalam keluarga Katolik. Ia juga menempuh pendidikan di SMA (Seminari) di Yogyakarta. Bahkan ia juga pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Jakob Oetama memang seorang Katolik yang taat.

Baca Juga: ​Undangan Sambung Guyub Dianggap Pilih-pilih Wartawan, Humas Polres Kediri Kota Ngaku Lupa

Sebelum berkarir total sebagai , ia sempat menjadi guru. Ia mengajar di SMP Mardiyuwana (Cipanas, Jawa Barat) dan SMP Van Lith Jakarta. Tahun 1955, ia menjadi redaktur mingguan Penabur di Jakarta. Jakob kemudian melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Sosial Politik UGM Yogyakarta.

Karir jurnalistik Jakob memang dimulai ketika menjadi redaktur Mingguan Penabur tahun 1956. Pada April 1961, Ojong mengajak Jakob membuat majalah baru bernama Intisari, isinya sari pati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Majalah bulanan Intisari terbit pertama kali Agustus 1963.

Pada tahun 1965 ia mendirikan koran Harian KOMPAS. Usaha Jakob berkembang pesat sehingga menjadi Kompas Gramedia yang bergerak di berbagai bidang, termasuk buku, hotel, dan sebagainya.

Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu

Saat menjadi , Jakob bergaul akrab dengan kalangan seperti Adinegoro, Parada Harahap, Kamis Pari, Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar.

"Dalam soal-soal jurnalistik, Ojong itu guru saya, selain Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar," katanya dikutip biorafi-tokohpengusaha.blongspot.com.

Di mata Jakob, Ojong kuat di bidang humaniora dan kuat dalam prinsip nilai-nilai kemajuan. Mochtar Lubis sosok yang berani dan memegang teguh prinsip, sedang Rosihan Anwar kuat dalam persoalan humaniora. Majalah Intisari kemudian diperkuat oleh teman-teman Jakob-Ojong dari Yogyakarta seperti Swantoro dan J Adisubrata. Menyusul kemudian Indra Gunawan dan Kurnia Munaba.

Baca Juga: Dua Atlet Catur Anggota SIWO Kediri Siap Ikuti PORWANAS XIV

Pada 3 Oktober 2011, Dahlan Iskan pernah menulis tentang karakter lurus Jakob Oetama. Menurut dia, Jakob Oetama adalah tokoh pers yang fokus. Jakob, tulis Dahlan Iskan, adalah tokoh pers yang tak gampang tergiur dengan rayuan.

“Pak Jakob adalah contoh dari sedikit orang yang bisa fokus. Sejak pikiran sampai tindakan. Godaan-godaan di luar pers tidak pernah meruntuhkan kefokusannya mengurus media. Padahal, sebagai pemimpin dan pemilik grup media nasional yang terbesar dan paling berpengaruh, pastilah begitu banyak rayuan dan iming-iming,” tulis Dahlan Iskan, tokoh pers nasional asal Takeran Magetan Jawa Timur itu.

Bukan hanya itu. “Beliau termasuk tokoh yang tidak mau menjadikan organisasi pers sebagai batu loncatan untuk berkarir di politik,” tulis Dahlan Iskan, besar yang hingga kini sangat produktif melahirkan karya-karya berharga. Karena itu wajar jika Kompas Gramedia menjadi sangat besar.

Baca Juga: Dewan Pers Siap Cabut Izin Media Jika Oknum Wartawan Terbukti Lakukan Intimidasi Hingga Pemerasan

Yang menarik, Dahlan Iskan juga mendeskripsikan penilaian para generasi yang lebih muda terhadap Jokob Oetama.

“Generasi yang lebih muda (meski sekarang saya sudah tergolong generasi tua) memberikan dua penilaian kepada Jakob Oetama. Beliau dikecam sebagai penakut. Bukan sosok pejuang yang gagah berani menantang maut, seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya), atau Rosihan Anwar (Pedoman), atau Tasrif (Abadi), Aristides Katoppo (Sinar Harapan), Nono Anwar Makarim (Kami), Goenawan Mohamad (Tempo), dan beberapa lagi.

Di pihak lain dia dipuji sebagai yang santun, mengurus anak buah (termasuk kesejahteraan ) dengan baik, dan sosok yang sangat menonjol tepo seliro-nya. Beliau juga tokoh yang kalau berbicara di depan umum lebih mengedepankan filsafat daripada masalah-masalah yang praktis. Misalnya, filsafat kritik. Sampai-sampai di era Orba itu muncul berjenis-jenis filsafat kritik. Ada kritik pedas macam Mochtar Lubis, kritik manis model Jakob Oetama, atau kritik jenaka model Goenawan Mohamad,” tulis Dahlan Iskan. (tim)

Baca Juga: Hari Pers Nasional 2024, Pj Bupati Jombang Raih Penghargaan Creative Regional Head dari PWI Jatim

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO