Ia sebelumnya juga tak pernah memegang operasi komando lapangan. Pasukan Mallaby langsung berangkat dari Singapura. Saat tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Hari Kamis, 25 Oktober 1945, itulah tugas lapangan pertama baginya. Tak ada briefing memadai untuk brigade yang dipimpinnya. Apalagi laporan intelijen tentang situasi lapangan untuknya, juga sangat kurang. Seluruh piranti komunikasi telah dikuasai Jepang sejak mendarat pada 1942. Sedangkan orang-orang Belanda yang ditawan Jepang tak punya akses ke alat komunikasi.
Situasi tanpa laporan intelijen dikeluhkan Laksamana Mountbatten. Laporan yang dirujuk Parrott itu menyatakan bahwa Mountbatten sendiri sama sekali tak punya petunjuk apa pun tentang situasi politik di Jawa. Bahkan ketika gubernur-jenderal Belanda HJ van Mook bertemu Mountbatten di Kandy, Srilanka, 1 September 1945, Van Mook sama sekali tak menyinggung situasi Jawa.
Pada 26 Oktober 1945, siang hari Brigjen Mallaby bertemu komandan BKR, Dr Moestopo, di Jembatan penarikan Admiraal Ferwerda, Kali Mas, Surabaya. Lalu, mereka berkendara ke gedung bekas konsulat Inggris di Jalan Kayoon, dan disambut Gubernur Jawa Timur, Soerjo. Ketegangan meningkat akibat kebodohan Kapten Shaw mendesak Dr Moestopo untuk membebaskan Huijer, perwira Belanda yang sebulan sebelumnya masuk ke Surabaya.
Ketegangan terus belangsung pada 27-29 Oktober 1945. Apalagi, pesawat Dakota milik Inggris menebar selebaran isinya memerintahkan warga menyerahkan senjata. Perundingan digelar pada 30 Oktober 1945, komandan divisi ke-23 Inggris, Jenderal Hawthorn, didampingi Brigjen Mallaby, bertemu Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Soerjo, Sungkono, Soetomo, dan para pemuda lainnya di gedung pemerintahan.
Namun, menjelang sore, situasi terus membara. Perlawanan dari segala arah. Mallaby bersama dua perwiranya di dalam mobil hendak berkeliling. Langkah keliru berujung maut.
Pelajaran Penting
Adalah menarik apa yang ditulis John Springhall dalam artikelnya "Disaster in Surabaya": The death of brigadier Mallaby during the British occupation of Java, 1945-46 (1996). Artikel yang dimuat dalam The Journal of Imperial and Commonwealth History itu mengurai sejumlah pelajaran penting dari kasus tewasnya Brigjen Mallaby di Surabaya.
Pertama, minimnya informasi lapangan yang dimiliki Inggris justru menjadikan pertempuran Surabaya menjadi fenomenal. Prakiraan Inggris meleset. Laksamana Mountbatten sendiri tak punya sensitivitas terhadap situasi di Jawa. Ia hanya tahu, ada ribuan serdadu Jepang yang menyerah. Selebihnya, ia hanya mengira ada kevakuman kekuasaan di Surabaya.
Kedua, semangat imperialistik telah membuat Inggris begitu bersemangat membantu Belanda. Ibaratnya, sesama imperialis harus saling membantu, begitu kira-kira. Inggris tutup mata pada gejolak politik yang muncul di Indonesia sejak Agustus 1945. Bahkan terkesan kuat, Inggris jadi kacung Belanda. Diboncengi NICA, ditunggangi kepentingan Belanda. Ketika diberitakan luas Mallaby tewas, Belanda bungkam.
Ketiga, kehadiran Letnan Kolonel Laurens van der Post ke dalam komunitas intelijen Inggris. Laurens pembisik Letnan Jenderal Philip Christison, komandan sekutu di Indonesia sejak September 1945. Laurens sering menyesatkan Christison dalam menilai situasi di Indonesia, khususnya Surabaya.***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News